Jumat, 26 Oktober 2012

PANGERAN PURBAYA



PANGERAN PURBAYA


Berdasarkan lacakan kami sesuai data yang tercantum di Wikipedia maka Pangeran Purubaya atau Pangeran Purbaya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa merujuk kepada tiga tokoh: yang pertama berasal dari Kesultanan Mataram, yang kedua dari Kesultanan Banten, dan yang terakhir berasal dari Kasunanan Kartasura. Namun di sini saya mencoba untuk melengkapi data yang ada yaitu dengan menampilkan sekilas sosok Pangeran Purbaya yang dimakamkan di Kalisoka Tegal atau bernama asli Sayyid Abdul Ghoffar.


1.      Pangeran Purbaya dari Mataram

Nama aslinya adalah Jaka Umbaran. Ia merupakan putra dari Panembahan Senopati yang lahir dari istri putri Ki Ageng Giring.
Babad Tanah Jawi mengisahkan, Ki Ageng Giring menemukan kelapa muda ajaib yang jika airnya diminum sampai habis dalam sekali teguk, akan menyebabkan si peminum dapat menurunkan raja-raja tanah Jawa. Tanpa sengaja air kelapa muda itu terminum habis oleh Ki Ageng Pamanahan yang bertamu ke Giring dalam keadaan haus.
Ki Ageng Pamanahan merasa bersalah setelah mengetahui khasiat air kelapa ajaib itu. Ia lalu menikahkan putranya, yaitu Sutawijaya dengan anak perempuan Ki Ageng Giring. Namun karena istrinya itu berwajah jelek, Sutawijaya pun pulang ke Mataram dan meninggalkannya dalam keadaan mengandung.
Putri Giring kemudian melahirkan Jaka Umbaran (diumbar dalam bahasa Jawa artinya “ditelantarkan”). Setelah dewasa Jaka Umbaran pergi ke Mataram untuk mendapat pengakuan dari ayahnya. Saat itu Sutawijaya sudah bergelar Panembahan Senopati. Melalui perjuangan yang berat, Jaka Umbaran akhirnya berhasil mendapat pengakuan sebagai putra Mataram dengan gelar Pangeran Purbaya.
Naskah babad mengisahkan putra Panembahan Senopati yang paling sakti ada dua. Yang pertama adalah Raden Rangga yang mati muda, sedangkan yang kedua adalah Purbaya. Ia merupakan pelindung takhta Mataram saat dipimpin keponakannya, yaitu Sultan Agung (1613-1645).
Sebagian masyarakat Jawa percaya kalau Sultan Agung sebenarnya putra kandung Purbaya. Konon, Sultan Agung sewaktu bayi sengaja ditukar Purbaya dengan bayi yang dilahirkan istrinya. Kisah ini seolah berpendapat kalau Sultan Agung adalah perpaduan darah Mataram dan Giring. Namun pendapat ini hanyalah pendapat minoritas yang kebenarannya sulit dibuktikan.
Pangeran Purbaya hidup sampai zaman pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Ia hampir saja menjadi korban ketika Amangkurat I menumpas tokoh-tokoh senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya. Untungnya, Purbaya saat itu mendapat perlindungan dari ibu suri (janda Sultan Agung).
Purbaya meninggal dunia bulan Oktober 1676 saat ikut serta menghadapi pemberontakan Trunajaya. Amangkurat I mengirim pasukan besar yang dipimpin Adipati Anom, putranya, untuk menghancurkan desa Demung (dekat Besuki) yang merupakan markas orang-orang Makasar sekutu Trunajaya. Perang besar terjadi di desa Gogodog. Pangeran Purbaya yang sudah lanjut usia gugur akibat dikeroyok orang-orang Makasar dan Madura.


2.      Pangeran Purbaya dari Banten

Pangeran Purbaya yang kedua adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten (1651-1683). Ia mendukung perjuangan ayahnya dalam perang melawan VOC tahun 1656.
Pangeran Purbaya juga diangkat menjadi putra mahkota baru karena Sultan Haji (putra mahkota sebelumnya) memihak VOC. Setelah berperang sekian lama, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya tertangkap bulan Maret 1683, dan Banten pun jatuh ke tangan VOC. Pangeran Purbaya dan istrinya yang anti VOC bernama Raden Ayu Gusik Kusuma lalu melarikan diri ke Gunung Gede. Penderitaan Purbaya membuat dirinya memutuskan untuk menyerah. Namun, ia hanya mau dijemput oleh perwira VOC yang berdarah pribumi.
Saat itu VOC sedang sibuk menghadapi gerombolan Untung Suropati. Kapten Ruys pemimpin benteng Tanjungpura berhasil membujuk Untung Suropati agar bergabung dengan VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung Suropati bersedia. Ia pun dilatih ketentaraan dan diberi pangkat Letnan. Untung Suropati kemudian ditugasi menjemput Pangeran Purbaya di tempat persembunyiannya. Namun datang pula pasukan VOC lain yang dipimpin Vaandrig Kuffeler, yang memperlakukan Purbaya dengan tidak sopan. Sebagai seorang pribumi, Untung Suropati tersinggung dan menyatakan diri keluar dari ketentaraan. Ia bahkan berbalik menghancurkan pasukan Kuffeler.
Pangeran Purbaya yang semakin menderita memutuskan tetap menyerah kepada Kapten Ruys di benteng Tanjungpura. Sebelum menjalani pembuangan oleh Belanda pada April 1716, Pangeran Purbaya memberikan surat wasiat yang isinya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.[1] Sedangkan istrinya Gusik Kusuma konon pulang ke negeri asalnya di Kartasura dengan diantar Untung Suropati.


3.      Pangeran Purbaya dari Kartasura

Pangeran Purbaya yang ketiga adalah putra Pakubuwana I raja Kartasura (1705-1719). Sepeninggal sang ayah, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar berselisih dengan kakak mereka, yaitu Amangkurat IV (raja baru). Amangkurat IV mencabut hak dan kekayaan kedua adiknya itu. Pangeran Purbaya masih bisa bersabar, namun Pangeran Blitar menyatakan pemberontakan.
Perang saudara pun meletus tahun 1719. Perang ini terkenal dengan nama Perang Suksesi Jawa Kedua. Pangeran Purbaya akhirnya bergabung dengan kelompok Pangeran Blitar. Mereka membangun kembali istana lama Mataram di kota Karta, dengan nama Kartasekar. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan, sedangkan Pangeran Purbaya sebagai penasihat bergelar Panembahan.
Setelah Pangeran Blitar meninggal di Malang tahun 1721 karena sakit, perjuangan pun dilanjutkan Panembahan Purbaya. Ia berhasil merebut Lamongan. Namun gabungan pasukan Kartasura dan VOC terlalu kuat. Purbaya akhirnya tertangkap bersama para pemberontak lainnya.
Panembahan Purbaya dihukum buang ke Batavia. Ia memiliki putri yang menjadi istri Pakubuwana II putra Amangkurat IV. Dari perkawinan itu lahir Pakubuwana III raja Surakarta yang memerintah tahun 1732-1788.
Referensi:
·         Shahab, Alwi, Kisah-kisah dari Condet, dimuat di Republika, 4 Nopember 2007. Diakses 8 Mei 2011.
·         Abdul Muis. 1999. Surapati. cet. 11. Jakarta: Balai Pustaka
·         Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
·         M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
·         Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
·         Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu


4.      Pangeran Purbaya Tegal (Sayyid Abdul Ghoffar)


Pangeran Purbaya merupakan putera Sultan Agung dari Kerajaan Mataram dan sebagai menantu Ki Gede Sebayu. Dalam Babad Pagedongan disebutkan bahwa Pangeran Purbaya mempunyai kelangenan berupa “laweyan seta” (makhluk halus) diberi nama Ki Juru Taman. Perjalanan sejarah dimulai, ketika Pangeran Purbaya diperintah oleh ayahnya untuk menangkap Pasingsingan, akhirnya sampai di Dukuh Sumbregah (Slarang Sigeblag) Lebaksiu. Bersama dengan Ki Ciptosari dan Wangsayuda mendirikan pondok pesantren yang mengajarkan ilmu bela diri, ilmu anoraga dan ilmu aji jaya kawijayan yang menggunakan mantra. Untuk meningkatkan ilmunya, Pangeran Purbaya berguru kepada Ki Gede sebayu di Karangmangu. Dalam masa berguru, Pangeran Purbaya mendapat wejangan atau pesan untuk menghindari larangan atau pantangan yaitu :
1.
Kadunungan sifat tamak
2.
Godaan setan yang masuk pada hati manusia sehingga tumbuh sifat kuma (kumingsun, kuminter, kumalungkung dan sebagainya)

3.
Ikut pada bisikan setan sehingga murtad keluar dari jalan yang benar.
Pangeran Purbaya menikah dengan puteri Ki Gede Sebayu bernama Raden Rara Giyanti Subhaleksana. Pangeran Purbaya membangun masjid jami’ di Padepokan Pesantren Desa Kalisoka. Selain itu Pangeran Purbaya bersama Ki Ciptosari membangun balong ikan tambra di Desa Cenggini yang kemudian dimanfaatkan untuk mengairi persawahan penduduk.
Sampai akhir hayat, Pangeran Purbaya dimakamkan di Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru. Komplek makam Pangeran Purbaya terbagi menjadi 3 halaman yang dibatasi oleh pagar dari bata. Halaman utama (halaman ke-3) merupakan makam Pangeran Purbaya dan pendampingnya, Makam Reksonegoro, Makam Bupati Pemalang dan masjid makam serta makam kerabat. Halaman 2 dan 1 merupakan makam kerabat. Bangunan cungkup dibagi dua ruang yaitu ruang makam yang tertutup tembok dan serambi terbuka menelilingi ruang makam. Jirat makam merupakan jirat baru dan berbahan keramik dengan ukuran panjang 2 x 1 m dan tinggi 30 cm. Nisan terbuat dari kayu jati saat ini keadaannya sudah rapuh. Nisan tersebut dikategorikan sebagai tipe Demak-Troloyo.
Hubungi Kesekretariatan Pasepuhan Pangeran Purbaya Kalisoka Tegal di: Desa Kalisoka Kec. Dukuhwaru TEGAL JATENG Telp. (0283)3333537 HP 0812-8164805 Fax (0283)444880.
                                      
Sumber:
·         Laporan Studi Teknis Arkeologis Kompleks Makam Pangeran Purbaya dan Ki Gede Hanggawana : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah Bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tegal Tahun 2005).


Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 11 Dzul Hijjah 1433 H

Kamis, 25 Oktober 2012

KH. Muntaha Al-Hafidz (Mbah Munt)



KH. Muntaha Al-Hafidz (Mbah Munt)


KH. Muntaha al-Hafidz lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.
Pertama, ada yang mengatakan KH. Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa KH. Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP/Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.
Ayahanda KH. Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy'ari dan Ibu Nyai Hj. Safinah. Sebelum KH. Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni KH. Mustaqim dan KH. Murtadho.
Sejak kecil KH. Muntaha mendapat pendidikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy'ari dan Ibu Nyai Hj. Safinah. Selain dari kedua orang tuanya tersebut, KH. Muntaha juga menimba banyak ilmu dari sejumlah Ulama Kyai dari berbagai Pesantren ke Pesantren lainnya di tanah air.
Lahir dalam keluarga Pesantren, KH. Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca al-Quran dan ilmu-ilmu ke-Islaman. Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.
Alkisah saat usia beliau masih belia, beliau berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak dan Pesantren Termas, ia tempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukannya dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.
Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, KH. Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan bacaan al-Quran saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan betapa kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki beliau dalam mencari ilmu.
Setelah berkelana dari Pesantren yang satu ke Pesantren yang lainnya, kembalilah beliau ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan al-Asy'ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo. Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, al-Asy'ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.
Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.




Pecinta al-Quran Sepanjang Hayat

Kecintaan KH. Muntaha terhadap al-Quran sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya, KH. Asy'ari terhadap al-Quran. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, KH. Muntaha telah menjadi seorang hafidz (orang yang hafal) al-Quran. Sebenarnya gelar bagi penghafal al-Quran adalah al-Hamil tapi entah sejak kapan di Indnesia gelar bagi penghafal al-Quran adalah al-Hafidz, wallahu a’lam.
Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai al-Quran kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya. 


Dalam kesehariannya, Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan al-Quran. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada KH. Muntaha.
Sepanjang hidup Mbah Muntaha, al-Quran senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil  berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan al-Quran.
Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan al-Quran di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca al-Quran. Itulah sebabnya, KH. Muntaha selalu menasehati para santrinya untuk mengkhatamkan al-Quran paling tidak seminggu sekali.
Kecintaan KH. Muntaha terhadap al-Quran juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir al-Quran, dengan menulis tafsir maudhu'i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tim yang diberi nama Tim Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pondok Pesantren al-Asy'ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu al-Quran (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan KH. Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandung maksud untuk menyebarkan nilai-nilai al-Quran kepada masyarakat luas.
Dan puncak realisasi kecintaan KH. Muntaha terhadap al-Quran ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Mushhaf al-Quran dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan al-Quran Akbar 30 juz.  
Al-Quran akbar itu ditulis oleh dua santri beliau yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta. Ketika penulisan al-Quran akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, al-Quran itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk kemudian di Istana Negara.
KH. Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan al-Quran, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca al-Quran, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Quran (YJHQ) untuk senantiasa memasyarakatkan al-Quran. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.
Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi KH. Muntaha al-Hafidz adalah sosok yang sangat mencintai al-Quran secara fisik maupu batin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai al-Quran ke masyarakat.
Kecintaan KH. Muntaha al-Hafidz terhadap al-Quran tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Alquran.
Seperti yang dikutip dari situ sresmi NU, ia pernah menggagas hal fenomenal, yakni membuat mushaf al-Quran Akbar (raksasa) dengan tinggi dua meter, lebar tiga meter dan berat satu kuintal lebih. Sebuah karya mahaagung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.
Sebenarnya banyak kisah menarik lainnya dari kehebatan almarhum KH. Muntaha, baik saat hidup beliau maupun setelah kewafatannya yang kami dapatkan dari para narasumber. Namun biarlah para santri atau para alumni yang menuturkannya secara langsung di komentar. Monggo….

Semoga bermanfaat, terkhusus untuk beliau almarhum KH. Muntaha lahu al-Fatihah…

Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 10 Dzul Hijjah 1433 H
Disarikan dari berbagai sumber.