Selasa, 13 Agustus 2013

KARAMAH AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI (CIKINI)

KARAMAH AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI (CIKINI)



Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi terlahir di Semarang dan wafat di Cikini, Jakarta pada tahun 1296 H/1879 M. Beliau adalah ayah dari Habib Ali Kwitang. Makam beliau terbilang unik, karena masjid atau makamnya berada di tengah-tengah proyek pengembangan apartemen di daerah Cikini Jl. Raden Saleh Jakarta.

Berikut adalah hasil wawancara Muh Subki Balya dengan Bapak Ansori, orang yang diserahi ahli bait untuk merawat masjid, pada bulan Ramadhan tahun 1434 H:

“Bahwa berdirinya masjid ini panjang dan katanya perebutan lahan ini dulu sampai berdarah, tetapi tiada stasiun TV manapun yang meliputnya. Ada seorang kaya yang berniat menggusurnya.

Sengketa tidak boleh digusur dan mau menggusur berlanjut. Sampai akhirnya yang berkuasa duit berhasil mau memindahkan makam Habib Abdurahman. Alat berat bego (alat mobil berat) dikerahkan sungguh di luar rasio akal sehat. Mobil bego itu patah.

Kemudian diambilkan mobil bego yang lebih baru dan lebih sehat. Benar-benar karamah Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi telah nampak. Mobil bego yang lebih layak dan sehat itu patah juga, bahkan patahannya hampir menyambar operator alat bego itu.

Ketika peristiwa tersebut mereda, terjadi keributan yang keduakalinya. Orang berduit itu tetap hendak mengeruk lahan tanah yang di situ terdapat makam Habib Abdurrahman. Ternyata keluarlah sumber air dari kerukan tersebut. Dari peristiwa itu dibangunlah sebuah masjid oleh keluarga di samping makam Habib Abdurrahman al-Habsyi.

Kisah unik irasional terjadi kembali. Saat pembangunan batas antara masjid dengan proyek, tepatnya di tikungan jalan tidak kunjung mengering. Air terus menggenang sehingga tidak dapat melakukan pengecoran pondasi, kurang lebih hingga 3 bulan lamanya. Saat itulah dari pihak kontraktor baru mau meminta izin sekedar berdoa di makam. Setelah itu air pun surut dan pembangunan pagar bisa dilaksanakan.”

Kejadian unik lain diceritakan pula oleh Bapak Ansori sebagai berikut:

“Ada seorang petani dengan mengendarai sepeda motor hendak melihat tanaman cabainya yang dikira sudah cukup umurnya untuk dipanen. Namun setelah meninjau berulangkali tanaman cabainya itu tidak kunjung dapat dipanen.

Datanglah ia ziarah ke makam Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi. Kemudian ia meminta kaleng yang bisa digunakan untuk mengambil air di makam Habib Abdurrahman.

Sepulangnya di rumah, air seberat kaleng cat itu dioplos (dicampurkan) dengan air yang digunakan untuk menyirami tanaman cabai. Alhamdulillah setelah itu tanaman cabainya bisa panen. Dari kejadian itu lantas ia ziarah kembali ke makam Habib Abdurahman al-Habsyi dengan membawa tumpeng sekedar berbagi rizki untuk selamatan atau tasyakuran.”


SEKILAS MANAQIB AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI

Habib Cikini, begitulah sebutan yang biasa diucapkan banyak orang untuk sosok al-Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi. Beliau terlahir dari keluarga al-Habsyi pada cabang keluarga al-Hadi bin Ahmad Shahib Syi’ib. Ia generasi pertama dari garis keturunan keluarga yang terlahir di Nusantara atau generasi kedua yang telah menetap di negeri ini.

Nasab lengkapnya adalah Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad al-Ashghar bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi.

Sebuah sumber tulisan menyebutkan bahwa kakeknya yang bernama Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi adalah yang pertama kali datang dari Hadhramaut dan menetap di Pontianak dan kemudian menikah dengan seorang putri dari keluarga Kesultanan Pontianak. Itu artinya, Habib Cikini adalah generasi kedua yang terlahir di Nusantara atau generasi ketiga yang menetap di sini.

Tulisan lainnya menyebutkan bahwa Habib Muhammad, kakeknya, ikut mendirikan Kesultanan Hasyimiyah Pontianak bersama keluarga al-Qadri.

Dalam catatan pada kitab rujukan “Nasab Alawiyyin” susunan Habib Ali bin Ja’far Assegaf ditulsikan, berdasarkan keterangan Habib Ali Kwitang yang mendapat informasi dari Habib Alwi (tinggal di Surabaya, sepupu dua kali Habib Ali Kwitang) bin Abdul Qadir bin Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi, disebutkan, Habib Muhammad bin Husein wafat di Tarbeh, Hadhramaut. Kitab Habib Ali bin Ja'far juga menuliskan dengan jelas bahwa Habib Abdullah (Ayah Habib Cikini) adalah seorang kelahiran Hadhramut, tepatnya di Tarbeh. Berdasarkan berbagai keterangan di atas, jelaslah “Habib Cikini” adalah generasi pertama dari garis keturunan keluarganya yang dilahirkan di Nusantara.

Silsilah Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi adalah: al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.

Habib Cikini sering juga disebut sebagai “Putra Semarang”. Selain pernah menetap di Pontianak, Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi (ayah Habib Cikini) yang semasa hidupnya memiliki aktivitas berdagang antar pulau, juga pernah menetap di Semarang. Namun dari sebuah tulisan menyatakan bahwa ia menikah pertamakali di Semarang.

Sebuah naskah juga menyebutkan, ibu Habib Cikini adalah seorang syarifah dari keluarga Assegaf di Semarang. Dan memang, Habib Cikini sendiri diketahui sebagai putra kelahiran Semarang. Ini berkaitan dengan catatan lainnya yang menyebutkan: “Ia wafat di Laut Kayong (daerah Sukadana, Kalimantan) pada 1249 H, atau bertepatan dengan tahun 1833 M.”

Keterangan yang disebutkan terakhir tampaknya lebih mendekati kebenaran, sebab wilayah Sukadana berseberangan langsung dengan kota Semarang di Pulau Jawa, dan Kota Semarang merupakan kota kelahiran Habib Cikini. Hal ini juga selaras dengan keterangan bahwa Habib Abdullah wafat saat berlayar dari Pontianak ke Semarang. Pada Catatan itu juga disebutkan, ia wafat saat berperang dengan “lanun”, sebutan orang Pontianak terhadap para perompak laut.

Habib Cikini juga memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Habib Syech dan Raden Saleh. Diantara sejarah kehidupan Habib Cikini yang didapat dari sejumlah sumber adalah bahwa ia sahabat karib Habib Syech bin Ahmad Bafaqih (Botoputih-Surabaya). Hal tersebut diantaranya dicatat dalam catatan kaki Ustadz Dhiya’ Shahab dalam bukunya  “Syams adz-Dzahirah”.

Begitupula menurut penulis Belanda bernama L.W.C Van Den Berg dalam buku “Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes” yang menyebutkan bahwa Habib Syech pernah menetap di Batavia selama kurang lebih 10 tahun.

Sya’roni As-Samfuriy, Subang 13 Agustus 2013

Disadur dari:


Koleksi foto-foto pembongkaran dan pemugaran Makam dan Masjid Habib Cikini bisa dilihat di sini:



Kamis, 08 Agustus 2013

PUASA SYAWAL

PUASA SYAWAL
Daftar Isi: a. Dalil Disunnahkannya Puasa Sunnah Syawal b. Niat Puasa Sunnah Syawal Digabung dengan Niat Qadha Puasa Ramadhan c. Tentang Qadha Puasa Ramadhan a. Dalil Disunnahkannya Puasa Sunnah Syawal Dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 8 halaman 56 dijelaskan perihal puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal pada hadits Nabi Saw.: من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا من شَوَّالٍ كان كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim). Dalil ini yang dijadikan dasar yang kuat bagi madzhab Syafi’iyah, Hanbali dan Abu Daud (Dzahiriyyah) tentang kesunahan menjalankan puasa 6 hari di bulan Syawal. Sedangkan Madzhab Hanafiyyah memakruhkan hal tersebut dengan alasan agar tidak memberi prasangka akan wajibnya puasa tersebut. Para penganut madzhab Syafi’iyyah menilai, yang lebih utama dalam menjalaninya adalah berurutan secara berkesinambungan (mulai tanggal 2 Syawal). Namun jika dilakukan dengan dipisah-pisah atau dilakukan di akhir bulan Syawal tetap masih mendapatkan keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Ulama berkata: “Alasan (puasa Syawal) menyamai puasa setahun penuh berdasarkan bahwa satu kebaikan menyamai sepuluh kebaikan. Dengan demikian bulan Ramadhan menyamai (dikalikan) sepuluh bulan lain (1 bulan=1000 bulan) dan 6 hari di bulan Syawal menyamai (dikalikan) dua bulan lainnya (6 hari=12 bulan).” b. Niat Puasa Sunnah Syawal Digabung dengan Niat Qadha Puasa Ramadhan Menurut Imam ar-Ramli diperbolehkan menggabung niat puasa 6 hari bulan Syawal dengan qadha puasa wajib Ramadhan, dan keduanya mendapatkan pahala. Sedangkan menurut Abu Makhramah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan tidak sah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 271. Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin halaman 113-114 menjelaskan perihal hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim). Sebagai berikut ini: Bila melihat dzahirnya hadits seolah memberi pengertian tidak terjadinya kesunnahan 6 hari bulan Syawal saat ia niati bersamaan dengan qadha puasa Ramadhan. Namun Ibnu Hajar menjelaskan: “Mendapatkan kesunnahan dan pahalanya bila ia niati sama seperti puasa-puasa sunnah lainnya, seperti puasa hari ‘Arafah dan ‘Asyura.” Bahkan Imam ar-Ramli mengunggulkan pendapat terjadinya pahala ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dilakukan bersamaan ibadah fardhu meskipun tidak ia niati selama tidak terbelokkan arah ibadahnya, seperti ia niat puasa qadha Ramadhan di bulan Syawal dan ia niati sekalian puasa qadha 6 hari di bulan Dzulhijjah (maka tidak ia dapati kesunnahan puasa Syawalnya). Tetap disunnahkan menjalankan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal meskipun ia memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan karena ia menjalani berbuka (batal) puasa di bulan Ramadhannya. Abu Makhramah dengan mengikuti pendapat al-Mashudi berkeyakinan tidak dapatnya pahala keduanya bila ia niati kedua-duanya secara bersamaan seperti saat ia niat shalat Dzuhur dan shalat sunnah Dzuhur. Bahkan Abu Makhramah menyatakan tidak sahnya puasa 6 hari bulan Syawal bagi yang memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan secara mutlak. c. Tentang Qadha Puasa Ramadhan Diharamkan menjalankan puasa dengan niat qadha dengan alasan karena ihtiyath (hati-hati) selama ia yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki tanggungan mengqadha puasa Ramadhan. Namun diperbolehkan menjalaninya bila ia ragu-ragu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ahkam al-Fuqaha juz 2 halaman 29: فمن تيقن او ظن عدم وجوب قضاء رمضان عليه فيحرم عليه نية القضاء للتلاعب ومن شك فله نية القضاء ان كان عليه والا فالتطوع “Barangsiapa yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki kewajiban mengqadha puasa Ramadhan maka haram baginya puasa dengan diniati qadha, karena sama halnya dengan mempermainkan ibadah. Namun barangsiapa ragu-ragu maka diperbolehkan dengan niat puasa qadha bila memiliki tanggungan qadha dan akan bernilai puasa sunnah bila tidak memiliki tanggungan.” Disebutkan juga dalam kitab al-Fatawi al-Fqhiyyah al-Kubra juz 2 halaman 90: أَنَّهُ لو شَكَّ أَنَّ عليه قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كان وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ له الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عليه وَإِلَّا حَصَلَ له التَّطَوُّعُ “Sesungguhnya bila seseorang ragu-ragu atas kewajiban mengqadha baginya kemudian puasa dengan niat mengqadhainya bila ada tanggungan dan niat puasa sunnah bila tidak memiliki tanggungan, maka niatnya itu sah dan qadha puasanya juga terjadi bila memang tanggungan tersebut diperkirakan terdapat padanya. Bahkan seandainya telah nyata sekalipun baginya bahwa ia tidak memiliki tanggungan, maka puasanya tersebut menjadi puasa sunnah.” Wallahu al-Musta’an A’lam

Jumat, 02 Agustus 2013

BIOGRAFI NABI KHIDHIR AS.

BIOGRAFI NABI KHIDHIR AS.

Daftar Isi:

1)      Asal-usul Khidhir As.
2)      Kisah Khidhir As. dengan Musa As.
a.       Teguran Allah kepada Musa As.
b.      Persyaratan belajar
3)      Hikmah Kisah Khidhir As.
4)      Mencari Khidhir As.
5)      Hidup dan Wafat Khidhir As.
6)      Usia Khidhir As.
7)      Doa Khidhir As. (Doa Tolak Bala)
8)      Catatan kaki


1)      Asal-usul Khidhir As.

Al-Khiḍhr (Arab: لخضرا, Khaḍhr, Khaḍhir, Khiḍhir) adalah seorang nabi misterius yang dituturkan oleh Allah Swt. dalam al-Qur'an Surat al-Kahfi ayat 65-82. Selain kisah tentang Nabi Khidhir As. yang mengajarkan tentang ilmu dan kebijaksanaan kepada Nabi Musa As., asal-usul dan kisah lainnya tentang Nabi Khidhir As. tidak banyak disebutkan.

Dalam buku berjudul “Mystical Dimensions of Islam”, Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa Nabi Khidhir As. dianggap sebagai salah satu nabi dari empat nabi ‘Sosok yang tetap Hidup’ atau ‘Abadi’. Tiga lainnya adalah Idris (Henokh), Ilyas (Elia), dand Isa (Yesus).[1] 

Nabi Khidhir As. abadi karena ia dianggap telah meminum air kehidupan. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Khidhir As. adalah masih sama dengan seseorang yang bernama Elia.[2] 

Nabi Khidhir As. juga diidentifikasikan sebagai St. George.[3] Diantara pendapat awal para cendikiawan Barat, Rodwell menyatakan bahwa: “Karakter Khidhir dibentuk dari Yitro.[4]

Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama dan julukan yang telah disandang oleh Nabi Khidhir As. Beberapa orang mengatakan Khidhir adalah gelarnya; yang lainnya menganggapnya sebagai nama julukan.[5] 

Nabi Khidhir As. telah disamakan dengan St. George, dikenal sebagai “Elia versi Muslim” dan juga dihubungkan dengan Pengembara abadi.[6] Para cendikiawan telah menganggapnya dan mengkarakterkan sosoknya sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain.

Al-Khiḍhr secara harfiah berarti “Seseorang yang Hijau” melambangkan kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan “berlarut langsung dari sumber kehidupan.”

Dalam situs Encyclopædia Britannica, dikatakan bahwa Nabi Khidhir As. telah diberikan sebuah nama, yang paling terkenal adalah Balyā bin Malkān.[7]

Nabi Khidhir As. adalah sepupu Dzul Qarnain (Raja Zulkarnain) dari pihak ibu.[8] Menurut Ibnu Abbas, Nabi Khidhir As. adalah seorang anak cucu Nabi Adam As. yang taat beribadah kepada Allah dan ditangguhkan ajalnya.[9] Ibunya berasal dari Romawi sedangkan bapaknya keturunan bangsa Parsi.[10]

Kemudian Mahmud al-Alusi menambahkan bahwa ia tidak membenarkan semua pendapat mengenai riwayat asal-usul Nabi Khidhir As., tetapi an-Nawawi mengatakan bahwa ia adalah seorang putra raja.[11]


2)      Kisah Khidhir As. dengan Nabi Musa As.

a.      Teguran Allah kepada Musa As.

Kisah Nabi Musa As. dan Nabi Khidhir As. dituturkan oleh al-Qur'an dalam Surat al-Kahfi ayat 65-82. Menurut Ibnu AbbasUbay bin Ka'ab menceritakan bahwa beliau mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya: “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa: “Aku”. Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firmanNya: “Sesungguhnya di sisiKu ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Lantas Musa pun bertanya: “Wahai Tuhanku, di manakah aku dapat menemuinya?”

Allah pun berfirman: “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hambaKu itu.”

Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa As. untuk menemui hamba yang shalih itu. Disamping itu, Nabi Musa As. juga ingin sekali mempelajari ilmu dari hamba Allah yang shalih tersebut.

Nabi Musa As. kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin Nun.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Allah Swt. membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.

Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya' tertidur dan ketika terjaga beliau lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa As. Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya dan pada keesokan paginya.

“Nabi Musa berkata kepada Yusya`: “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. al-Kahfi ayat 62)

Ibn `Abbas Ra. berkata: “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hambaNya yang lebih berilmu itu.”
Yusya’ berkata kepada Nabi Musa As.: “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (QS. al-Kahfi ayat 63)

Nabi Musa As. segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, keduanya berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan.

Musa berkata: “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. al-Kahfi ayat 64)

Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Nabi Musa As. dengan Nabi Khidhir As. Ada yang mengatakan bahawa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Disamping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.


b.      Persyaratan belajar

Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa As. pun mengucapkan salam kepadanya. Nabi Khidhir As. menjawab salamnya dan bertanya: “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan. Siapakah kamu?”

Jawab Nabi Musa As.: “Aku adalah Musa.”

Nabi Khidhir As. bertanya lagi: “Musa dari Bani Isra’il?”

Nabi Musa As. menjawab: “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”

Nabi Khidhir As. menegaskan: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (QS. al-Kahfi ayat 67). “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebagian daripada karunia Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”

Nabi Musa berkata: “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (QS. al-Kahfi ayat 69).

Dia (Khidhir) selanjutnya mengingatkan: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS. al-Kahfi ayat 70).



c.       Perjalanan Khidr As. dan Musa As.

Demikianlah seterusnya Musa mengikuti Khidhir dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji bahwa ia tidak akan bertanya tentang sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidhir As. Setiap tindakan Nabi Khidhir As. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa As. terperanjat.

Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khidhir As. menghancurkan perahu yang ditumpangi bersama. Nabi Musa As. tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidhir As. Nabi Khidhir As. memperingatkan janji Nabi Musa As., dan akhirnya Nabi Musa As. meminta maaf karena kelancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khidhir As.

Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidhir As. membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidhir As. tersebut membuat Nabi Musa As. tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidhir As. Nabi Khidhir As. kembali mengingatkan janji Nabi Musa As., dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidhir As., jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa As. harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidhir As.

Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu wilayah perumahan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa As. merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidhir As. malah menyuruh Nabi Musa As. untuk bersama-sama memperbaiki tembok rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa As. tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidhir As. ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk mendzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khidhir As. menegaskan pada Nabi Musa As. bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa As. untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa As. tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khidhir As.

Selanjutnya Nabi Khidhir As. menjelaskan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa As. bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khidhir As. menghancurkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.

Kejadian yang kedua, Nabi Khidhir As. menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.

Kejadian yang ketiga, Nabi Khidhir As. menjelaskan bahwa tembok rumah yang diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta karun yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Dipercaya tempat tersebut berada di negeri AntakyaTurki.

Akhirnya Nabi Musa As. sadar hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khidhir As. Akhirya mengerti pula Nabi Musa As. dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan oleh Allah Swt. dengan seorang hamba Allah yang shalih yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari yaitu ilmu ladunni. Ilmu ini diberikan oleh Allah Swt. kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Nabi Khidhir As. yang bertindak sebagai seorang guru banyak memberikan nasihat dan menyampaikan ilmu seperti yang diminta oleh Nabi Musa As. dan Nabi Musa As. menerima nasihat tersebut dengan penuh rasa gembira.

Saat mereka di dalam perahu yang ditumpangi, datanglah seekor burung lalu hinggap di ujung perahu itu. Burung itu meneguk air dengan paruhnya, lalu Nabi Khidhir As. berkata: “Ilmuku dan ilmumu tidak berbanding dengan ilmu Allah, Ilmu Allah tidak akan pernah berkurang seperti air laut ini karena diteguk sedikit airnya oleh burung ini.”

Sebelum berpisah, Nabi Khidhir As. berpesan kepada Nabi Musa As.: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan, berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan, wahai Ibnu `Imran.”


3)      Hikmah kisah Khidhir As.

Dari kisah Nabi Khidhir As. ini kita dapat mengambil pelajaran penting. Diantaranya adalah Ilmu merupakan karunia Allah Swt., tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan anugerah dari Allah Swt. yang diberikan kepada seseorang tanpa harus mempelajarinya (ilmu ladunni, yaitu ilmu yang dikhususkan bagi hamba-hamba Allah yang shalih dan terpilih).

Hikmah yang kedua adalah kita perlu bersabar dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami.

Hikmah ketiga adalah setiap murid harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid harus bersedia mendengar penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat bertindak di luar perintah dari guru. Kisah Nabi Khidhir As. ini juga menunjukkan bahwa Islam memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.


4)      Mencari Khidhir As.

Kedatangan dan pertemuan dengan Nabi Khidhir As. memang tidak bisa dijadwalkan. Ia datang tak diundang, pergi pun sesuka hatinya. Dia hadir jika ada yang membutuhkan dengan niat tulus dan terkadang kedatangannya untuk menyadarkan orang yang didatangi.

Seperti yang dialami oleh raja besar di Balkha. Raja ini merupakan raja yang kaya raya juga banyak pengawalnya. Suatu malam sang raja dikejutkan oleh suara di atas atap rumah. Ketika ditanya orang yang berada di atas itu menjawab bahwa dia sedang mencari untanya yang hilang. Seketika sang raja mengatakan aneh, sebab mencari unta di atas atap. Tetapi laki-laki itu malah menjawab kelakuan sang raja lebih aneh lagi sebab mencari ridha Allah kok berbalut dengan kemewahan.

Begitu pula saat sang raja mengadakan sidang bersama para punggawanya, tiba-tiba datang seorang laki-laki tanpa permisi. Ketika ditanya apa keperluannya, sang laki-laki itu mengatakan bahwa istana ini hanya peristirahatan para kafilah. Tentu saja sang raja marah sebab istana disebut sebagai tempat peristirahatan.

“Ini bukan persinggahan para kafilah yang kelelahan. Ini adalah istanaku”, bentak sang raja merasa terhina.

“Istanamu? Sebelum engkau, siapa yang menempatinya?”
 “Bapakku”
 “Sebelum bapakmu, siapa yang punya?”
 “Kakekku”
 “Sebelum kakekmu?”
 “Bapak dari kakekku.”
 “Sekarang mereka berada di mana?”
 “Mereka sudah meninggal dunia”
 “Berarti tepat dan benar tempat ini adalah persinggahan sementara saja. Nanti sebentar lagi engkau juga akan meninggalkannya.”

Kemudian orang itu hilang. Ternyata orang itu tidak lain adalah Nabi Khidhir As. yang datang memberi nasehat agar menyadarkan bahwa kehidupan dunia itu fana belaka, bukan tujuan utama setiap manusia beriman.

Nabi Khidhir As. bak harta karun terpendam yang banyak diburu oleh banyak orang dengan berbagai macam keperluan dan keinginan. Seperti yang dialami oleh tiga bersaudara (Ubai, Ammar dan Khafid) ketiganya merupakan dari keluarga miskin. Tekad mereka adalah ingin bertemu dengan Nabi Khidhir As., tujuannya tidak lain meminta Nabi Khidhir As. mendoakan agar mereka dapat hidup layak.

Ketiganya mendatangi Masjidil Haram, sebab pada hari “Haji Akbar” Nabi Khidhir As. berada di sana. Setiap orang dijabattangani, menurut keyakinan jempolnya Nabi Khidhir As. itu empuk seperti kapas.

Setelah ketemu dengan Nabi Khidhir As. mereka bertiga menyampaikan tujuannya masing-masing. Ubai meminta didoakan supaya menjadi orang kaya, Ammar menjadi seorang raja sedangkan Khafid agar menjadi orang alim. Nabi Khidhir As. pun berkenan mendoakan setelah mereka dijanji supaya tidak lupa dengan kewajibannya jika kelak mereka berhasil cita-citanya.

Bertiganya berhasil sesuai harapan awalnya. Ubai menjadi kaya, Ammar menjadi seorang raja, dan Khafid menjadi orang alim yang mempunyai banyak santri.

Namun, Ubai menjadi sombong dan congkak terhadap orang-orang miskin. Ammar pun menjadi raja yang sewenang-wenang. Maka Nabi Khidhir As. perlu menyadarkan keduannya, tetapi kedatangannya malah disia-siakan oleh keduanya. Berkat doa’a Nabi Khidhir As. keduanya kembali ke kehidupan semula: menjadi miskin dan sengsara. Hanya Khafid yang lurus dengan janjinya.

Cerita Nabi Khidhir As. ini menjadi bahan renungan sekaligus tamparan kepada kita di realita kehidupan. Sosok wali, orang yang berkaromah terkadang hanya dimanfaatkan oleh kepentingan duniawi. Doanya hanya dimanfaatkan untuk meraih sesuatu yang sementara dan fana.

Merangkak-rangkak kita meminta didoakan supaya terkabul segala hajat namun setelah berhasil kita lupa dengan janji semuanya. Inilah realita bagaimana agama, wali, bahkan ayat-ayat al-Qur’an terkadang hanya dimanfaatkan hanya untuk memburu kemewahan dunia. Padahal kehadirannya (agama, wali, nabi dan kitab suci) tidak lain sebagai pembawa kabar gembira sekalipun peringatan (basyiiran wa nadziiran). [12]


5)      Hidup dan Wafat Khidhir As.

Memang benar, bahwa Nabi Khidhir As. adalah seorang nabi dan masih hidup sampai sekarang. Hal ini terbukti dari salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Nabi Khidhir As. dan Nabi Ilyas punya agenda khusus setiap tahun sampai kelak datangnya hari kiamat. Ada empat nabi yang masih hidup sampai sekarang; dua berada di bumi yaitu Nabi Khidhir As. dan Nabi Ilyas As., dan dua lagi berada di langit yaitu Nabi Isa As. dan Nabi Idris As. [13]

Kalau sampai saat ini Nabi Khidhir As. dinyatakan masih hidup, kapankah beliau akan meninggal dunia? Menurut keterangan dari Imam al-Yafi’i menyebutkan bahwa Nabi Khidhir As. meminta kepada Allah agar dijemput ajalnya setelah al-Quran telah sirna di dunia ini. [14]


6)      Usia Khidhir As.

Adapun terkait dengan usia panjang Nabi Khidhir As. Imam ash-Shadiq Ra. mengatakan: “Adapun hamba Allah yang shaleh, Khidhir, Allah Swt. telah memanjangkan usianya bukan untuk risalahnya dan juga bukan untuk kitab yang diturunkan kepadanya atau dengan perantaranya dan syariatnya, kemudian menganulir (nasakh) syariat para nabi sebelumnya. Juga bukan karena imamah yang mengharuskan para hambaNya mengikutinya, juga bukan karena ketaatan yang diwajibkan Tuhan bagi para hamba kepadanya. Melainkan Allah Swt. Maha Pencipta, menghendaki usia Imam Qaim (Imam Mahdi) menjadi sangat panjang pada masa ghaibatnya dan mengetahui bahwa para hambaNya akan mempersoalkan dan mengkritisi usianya. Atas dasar itu, Allah Swt. memanjangkan usia hamba shalihNya (Khidhir) sehingga dengan usianya yang panjang itu dapat dijadikan sebagai bahan argumentasi dan diserupakan usia Imam Mahdi. Dengan demikian, kritikan dan objeksi para musuh dan orang-orang yang berpikir jahat dapat digugurkan.” [15]

Tanpa ragu Nabi Khidhir As. masih hidup dan sekarang ini berusia lebih dari enam ribu tahun. [16]


7)      Doa Khidhir As. (Doa Tolak Bala)

بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
دُ عَاء الفرَج لِسَيِّدِنَا الخِضِرْ عَلَيْهِ السَّلاَم

اَللَّهُمَّ كَمَا لَطَفْتَ فِى عَظَمَتِكَ دُونَ الَلُّطَفَاءِ وَعَلوْتَ بِعَظَمَتِكَ عَلَى الْعُظَمَاءِ، وَعَلِمْتَ مَاتَحْتَ أَرضِكَ كَعِلْمِكَ بِمَا فَوْقَ عَرْشِكَ، وَكَانَت وَسَاوسُ الصُّدُورِ كَاْلعَلاَ نِيَّة عِنْدَكَ ، وَعَلاَ نَّيِةُ اْلقَوْلِ كَالسِّر فِى عِلْمِكَ، وَانْقَادَ كُلُّ شَىْءٍ لِعَظَمَتِكَ، وَخَضَعَ كُلُّ ذِى سُلْطَانٍ لسُلْطَا نِكَ ، وَصَارَ أَمْرُ الدُّ نْيَا والاَخِرَةِ كُلُّه بِيَدِكَ. اِجْعَلْ لِى مِنْ كُلِ هَمٍ أَصْبَحْتُ أَوْ أَمْسَيْتُ فِيهِ فَرَجاً وَمَخرَ جاً. اللَّهُمَّ إِنَّ عَفَوَكَ عَنْ ذُنُوبِى،  وَتَجَاوزَكَ عَنْ خَطِيئتىِ، وَسِتْرِكَ عَلَى قَبِيحِ عَمَلِى، أَطْمَعي أَنْ أَسْأ لَكَ مَالاَ أَسْتَوْ جِبُهُ مِنْكَ مِمَّا قَصَّرْتُ فِيهِ، أَدْعُوكَ اَمِنَاً وَأَسْأَ لُكَ مُسْتَأ نِسَاً. وَإِنَّكَ الْمُحْسِنُ إِليَّ، وَأَنَا الْمُسِئُ إلَى نَفْسِي فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَكَ، تَتَوَدَدُ إِليَّ بِنِعْمَتِكَ وَأَتَبَغَّضُ إلَيْكَ بِالْمَعَاصِيِ وَلَكِنَّ الثَّقَةُ بِكَ حَمَلَتْنِي علَى الْجرَاءَةِ عَلَيْكَ فَعُدْ بِفَضْلِكَ وَإحْسِانِكَ عَلَي إِنَّكَ أَنْتَ التَّوابُ الَّرَحِيمُ وَصَلى الله ُعَلَى سَيِدِنَا مُحَمَّدٍ وَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلمْ.

Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa alihi washahbihi wasallam. Allahumma kama lathafta fii a’dzamatika dunalluthafaa-i, wa ‘alauta bi a’dzamatika ‘alal ’udzamaa-i, wa ‘alimta ma tahta ardhika ka’ilmika bima fauqa ‘arsyika, wakanat wasawisushshuduri kal’alaniyyati ‘indaka wa ‘ala niyyatil qauli kassirri fi ‘ilmika wanqada kullu syai-in li ‘adzamatika wa khadha’a kullu dzi sulthanin li sulthanika. Washaara amruddunya wal akhirati kulluhu biyadika. Ij’al lii min kulli hammin ashbahtu au amsaitu fiihi farajan wa makhrajan. Allahumma inni ‘afawaka ‘an dzunubiy wa tajaawazaka ‘an khathi-athiy, wasitraka ‘ala qabihi a’maliy athmi’niy an as-aluka ma la astaujibuhu minka mimma qashshartu fihi. Ad’uka aminan wa as’aluka musta’nisan. Wa innakal muhsinu ilayya wa-analmusi’i ila nafsiy fima bainiy wa bainaka tatawaddadu ilayya bini’matika wa atabaghghadhu ilaika bilma’ashiy. Walakinnatstsaqaha bika hamalatniy ‘alal khara’ati ‘alaika fa’ud bifadhlika wa ihsanika ‘alayya innaka antattawaburrahiim. Washalallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa alihi wa shahbihi wasallam.

“Wahai Allah, sebagaimana Engkau telah berlemah-lembut dalam KeagunganMu melebihi segenap kelembutan. Dan Engkau Maha Luhur dan KeagunganMu melebihi semua Keagungan. Dan Engkau Maha Mengetahui terhadap apa apa yang terjadi di bumi sebagaimana Engkau Maha Mengetahui apa-apa yang terjadi di ‘ArsyMu. Dan semua yang telah terpendam merisaukan hati adalah jelas terlihat di hadapanMu. Dan segala yang terang-terangan diucapkan adalah rahasia yang terpendam dalam PengetahuanMu. Dan patuhlah segala sesuatu pada KeagunganMu. Dan tunduk segala penguasa di bawah KekuasaanMu. Maka jadilah segenap permasalahan dunia dan akhirat dalam GenggamanMu. Maka jadikanlah segala permasalahanku dan kesulitanku segera terselesaikan dan termudahkan pada pagiku atau soreku ini. Wahai Allah kumohon maafMu atas dosa-dosaku. Dan kumohon pengampunanMu atas kesalahan-kesalahanku. Dan kumohon tabir penutupMu dari keburukan amal-amalku. Berilah aku dan puaskan aku dari permohonanku yang sebenarnya tidak pantas diberikan padaKu karena kehinaanku. Kumohon padaMu keamanan dan kumohon padaMu kedamaian bersamaMu. Sungguh selalu berbuat baik padaku, sedangkan aku selalu berbuat buruk terhadap diriku atas hubunganku denganMu. Kau ulurkan cinta kasih sayang lembutMu padaku dengan kenikmatan-kenikmatanMu, sedangkan aku selalu memancing kemurkaanMu dengan perbuatan dosa. Namun kuatnya kepercayaanku padaMu membawaku untuk memberanikan diri lancang memohon padaMu. Maka kembalikanlah dengan AnugerahMu dan KebaikanMu padaku. Sungguh Engkau Maha Menerima hamba-hamba yang menyesal dan Engkau Maha Berkasih Sayang. Dan shalawat serta salam atas Sayyidina Muhammad serta keluarga dan limpahan salam. [17]


8)      Catatan kaki

1.      Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, (Chapel Hill: University of North Carolina Press. 1975), 202.
2.      “Muslim version of Elijah” George K. Anderson. The Legend of the Wandering Jew (Providence: Brown University Press. 1965), 409; Exhaustive material on Khidr’s resemblance with Elijah is presented in Friedlaenders “Khidr” in the Encyclopedia of Religion and Ethics (New York: Charles Scribner’s Sons, 1915), 693-95.
3.      Peter L. Wilson, “The Green Man: The Trickster Figure in Sufism”, in Gnosis Magazine 1991, 23.
4.      On Rodwell, see W.M. Thackston Jr. The Tales of the Prophets of al-Kisai (Boston: Twayne Publishers, 1978), xxiv.
5.      Alexander H. Krappe. The Science of Folklore (New York: Barnes and Noble Inc., 1930), 103.
6.      However, he refers to the Wandering Jew as Ahasver. See Haim Schwarzbaum. Biblical and Extra-Biblical Legends, 17.
9.      Kitab al-Ifrad karya Imam ad-Daruquthniy dan Ibnu ‘Asakir riwayat Ibnu Abbas.
10.  Fath al-Bari juz 6 halaman 310, al-Bidayah wa an-Nihayah juz 1 halaman 326, Ruh al-Ma'ani juz 17 halaman 319.
11.  Mahmud al-Alusi berkata: “Aku tidak membenarkan semua sumber yang menyatakan tentang riwayat asal-usul Khidhir. Tetapi an-Nawawi menyebutkan bahwa Khidhir adalah putera raja”. Fath al-Bari juz 6 halaman 390.
12.  Haji Lalu Ibrohim M.T, Mereka Memanggilku Khidir”, terbitan Pustaka Pesantren Yogyakarta tahun 2012.
13.  Lihat dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyah halaman 180 dan 307.
14.  Lihat dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyah halaman 322.
15.  Lihat dalam kitab Kamâl ad-Din jilid 3 halaman 357 dan dalam Bihâr al-Anwâr jilid 51 halaman 222.
16.  Lihat dalam kitab Yaum al-Khalâsh halaman 157.
17.  Ijazah al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa Pemimpin Majelis Rasulullah Saw. Jakarta.

Wallahu al-Musta’an


Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 14 Februari 2013