Tampilkan postingan dengan label FIQIH ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH ISLAM. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Agustus 2013

PUASA SYAWAL

PUASA SYAWAL
Daftar Isi: a. Dalil Disunnahkannya Puasa Sunnah Syawal b. Niat Puasa Sunnah Syawal Digabung dengan Niat Qadha Puasa Ramadhan c. Tentang Qadha Puasa Ramadhan a. Dalil Disunnahkannya Puasa Sunnah Syawal Dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 8 halaman 56 dijelaskan perihal puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal pada hadits Nabi Saw.: من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا من شَوَّالٍ كان كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim). Dalil ini yang dijadikan dasar yang kuat bagi madzhab Syafi’iyah, Hanbali dan Abu Daud (Dzahiriyyah) tentang kesunahan menjalankan puasa 6 hari di bulan Syawal. Sedangkan Madzhab Hanafiyyah memakruhkan hal tersebut dengan alasan agar tidak memberi prasangka akan wajibnya puasa tersebut. Para penganut madzhab Syafi’iyyah menilai, yang lebih utama dalam menjalaninya adalah berurutan secara berkesinambungan (mulai tanggal 2 Syawal). Namun jika dilakukan dengan dipisah-pisah atau dilakukan di akhir bulan Syawal tetap masih mendapatkan keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Ulama berkata: “Alasan (puasa Syawal) menyamai puasa setahun penuh berdasarkan bahwa satu kebaikan menyamai sepuluh kebaikan. Dengan demikian bulan Ramadhan menyamai (dikalikan) sepuluh bulan lain (1 bulan=1000 bulan) dan 6 hari di bulan Syawal menyamai (dikalikan) dua bulan lainnya (6 hari=12 bulan).” b. Niat Puasa Sunnah Syawal Digabung dengan Niat Qadha Puasa Ramadhan Menurut Imam ar-Ramli diperbolehkan menggabung niat puasa 6 hari bulan Syawal dengan qadha puasa wajib Ramadhan, dan keduanya mendapatkan pahala. Sedangkan menurut Abu Makhramah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan tidak sah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 271. Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin halaman 113-114 menjelaskan perihal hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim). Sebagai berikut ini: Bila melihat dzahirnya hadits seolah memberi pengertian tidak terjadinya kesunnahan 6 hari bulan Syawal saat ia niati bersamaan dengan qadha puasa Ramadhan. Namun Ibnu Hajar menjelaskan: “Mendapatkan kesunnahan dan pahalanya bila ia niati sama seperti puasa-puasa sunnah lainnya, seperti puasa hari ‘Arafah dan ‘Asyura.” Bahkan Imam ar-Ramli mengunggulkan pendapat terjadinya pahala ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dilakukan bersamaan ibadah fardhu meskipun tidak ia niati selama tidak terbelokkan arah ibadahnya, seperti ia niat puasa qadha Ramadhan di bulan Syawal dan ia niati sekalian puasa qadha 6 hari di bulan Dzulhijjah (maka tidak ia dapati kesunnahan puasa Syawalnya). Tetap disunnahkan menjalankan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal meskipun ia memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan karena ia menjalani berbuka (batal) puasa di bulan Ramadhannya. Abu Makhramah dengan mengikuti pendapat al-Mashudi berkeyakinan tidak dapatnya pahala keduanya bila ia niati kedua-duanya secara bersamaan seperti saat ia niat shalat Dzuhur dan shalat sunnah Dzuhur. Bahkan Abu Makhramah menyatakan tidak sahnya puasa 6 hari bulan Syawal bagi yang memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan secara mutlak. c. Tentang Qadha Puasa Ramadhan Diharamkan menjalankan puasa dengan niat qadha dengan alasan karena ihtiyath (hati-hati) selama ia yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki tanggungan mengqadha puasa Ramadhan. Namun diperbolehkan menjalaninya bila ia ragu-ragu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ahkam al-Fuqaha juz 2 halaman 29: فمن تيقن او ظن عدم وجوب قضاء رمضان عليه فيحرم عليه نية القضاء للتلاعب ومن شك فله نية القضاء ان كان عليه والا فالتطوع “Barangsiapa yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki kewajiban mengqadha puasa Ramadhan maka haram baginya puasa dengan diniati qadha, karena sama halnya dengan mempermainkan ibadah. Namun barangsiapa ragu-ragu maka diperbolehkan dengan niat puasa qadha bila memiliki tanggungan qadha dan akan bernilai puasa sunnah bila tidak memiliki tanggungan.” Disebutkan juga dalam kitab al-Fatawi al-Fqhiyyah al-Kubra juz 2 halaman 90: أَنَّهُ لو شَكَّ أَنَّ عليه قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كان وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ له الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عليه وَإِلَّا حَصَلَ له التَّطَوُّعُ “Sesungguhnya bila seseorang ragu-ragu atas kewajiban mengqadha baginya kemudian puasa dengan niat mengqadhainya bila ada tanggungan dan niat puasa sunnah bila tidak memiliki tanggungan, maka niatnya itu sah dan qadha puasanya juga terjadi bila memang tanggungan tersebut diperkirakan terdapat padanya. Bahkan seandainya telah nyata sekalipun baginya bahwa ia tidak memiliki tanggungan, maka puasanya tersebut menjadi puasa sunnah.” Wallahu al-Musta’an A’lam

Rabu, 23 Januari 2013

HUKUM ROKOK DAN KOPI



HUKUM ROKOK DAN KOPI
Oleh: Al-Ustadz  Usman Arrumy

Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi.

Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian diantara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.


Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur'an:

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah ayat 195)

As-Sunnah:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم

“Dari Ibnu 'Abbas Ra. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain).” (HR. Ibnu Majah, No. 2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kuantitas yang dikonsumsinya.

Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang Al-Habib 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 260 yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi Saw. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh asy-Syekh Mahmud Syaltut di dalam al-Fatawa (halaman 383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

“Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.”

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof. Dr Wahbah az-Zuhailiy di dalam al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

“Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab al-'Ubab dari madzhab asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan: “Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.”

Ulasan 'Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang diantaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyatakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apapun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.


Diedit ulang oleh Sya’roni As-Samfuriy dari:

Minggu, 20 Januari 2013

Bisakah Ijtihad Dilakukan Oleh Setiap Orang?



Bisakah Ijtihad Dilakukan Oleh Setiap Orang?



Dalam Maqshid ath-Thâlibîn karya Asy-Syeikh Abdullah Al-Habsyi halaman 188 disebutkan:

“Abu Dawud meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah Saw. pernah ada seseorang yang terkena luka pada bagian kepalanya, lalu pada suatu malam yang sangat dingin dia berhadats besar. Orang tersebut meminta fatwa kepada kaum muslimin dan mereka menjawab, ”Mandilah!”. Lalu orang tersebut mandi yang kemudian mengakibatkan dirinya meninggal. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah Saw. Beliau menyayangkan mengapa tidak menanyakan terlebih dulu perihal tersebut ketika mereka tidak mengetahui hukum yang sebenarnya. Nabi Saw. kemudian  bersabda: “Sesungguhnya sudah cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh anggota tubuhnya yang lain”.

Seandainya ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang Islam tentu Rasulullah Saw. tidak mencela kaum muslimin yang telah memberikan fatwa kepada orang tersebut.”

Jumat, 28 Desember 2012

Perhatikanlah Dengan Seksama



Perhatikanlah Dengan Seksama 



Gambar ini perlu disebarluaskan. Karena Banyak sekali kaum hawa yang mengabaikan/tidak memperhatikan masalah ini, kasihan mereka, sholat batal terus. sehingga perlu sekali bagi para Da'i dan Da'iyyah untuk menjelaskannya. 



Silakan dengan senang hati, monggo dishare, dicopas, ditag terserah antum… selama itu bermanfaat menurut kalian semoga menjadi amal ibadah buat kita semua Aamiin.