HUKUM ROKOK
DAN KOPI
Oleh: Al-Ustadz Usman Arrumy
Sejak awal
abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan
membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum
rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif
maupun pribadi.
Perbedaan
pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan
berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang
selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian diantara mereka menfatwakan mubah
alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih
cenderung menfatwakan haram.
Kali ini dan
di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok
mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.
Kontroversi Hukum Merokok
Seandainya
muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang
akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan
lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan
muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam
tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen
yang bertolak belakang.
Pada
dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan
melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau
kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai
berikut:
Al-Qur'an:
Al-Qur'an:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.” (Al-Baqarah
ayat 195)
As-Sunnah:
As-Sunnah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم
“Dari Ibnu 'Abbas Ra. ia berkata,
Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak boleh
berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan
(pada diri orang lain).” (HR. Ibnu Majah, No. 2331)
Bertolak
dari dua nash di atas, ulama sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa
mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok
itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam
hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi
rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini
merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan
berbagai argumennya.
Seandainya
semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi
relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian
pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka
akan sepakat pula dengan hukum haram.
Beberapa
pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama; hukum merokok adalah mubah atau
boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat
dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua; hukum merokok adalah makruh karena
rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar
hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena
rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi
mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam
penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian
lama membiasakannya.
Tiga
pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan
haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut
berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum
yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi
personnya atau kuantitas yang dikonsumsinya.
Tiga
tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal
terangkum dalam paparan panjang Al-Habib 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain
ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul
Mustarsyidin halaman 260 yang sepotong teksnya sebagai berikut:
لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف،
....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه
فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل
يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة
التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو
مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة
“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan
tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi Saw. … Jelasnya, jika
terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau
badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang
sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang.
Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah
sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan
berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu
dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan
benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah,
maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang
dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”
Senada
dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh asy-Syekh Mahmud
Syaltut di dalam al-Fatawa (halaman 383-384)
dengan sepenggal teks sebagai berikut:
إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا
ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون
حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر
بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة
الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.
“Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang
bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang
memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang
mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi
haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya.
Sedangkan sebagian ulama lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang
tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ
penting terjadi infeksi serta kurang stabil.”
Demikian
pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof. Dr Wahbah az-Zuhailiy di dalam al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet.
III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:
القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة،
فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة
أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ
مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل
ذي مروءة تركهما
“Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab al-'Ubab dari madzhab asy-Syafi'i
ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana
itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka
menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka
menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian
ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh
Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha
mengatakan: “Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah,
tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.”
Ulasan 'Illah (reason of law)
Sangat
menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih
cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan
pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan
rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang diantaranya
akan diulas dalam beberapa bagian.
Pertama; sebagian besar ulama terdahulu
berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih
bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa
mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa
kemudaratan merokok dapat pula dinyatakan tidak lebih besar dari kemudaratan
durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih
seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit
akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari
makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian
besar ulama terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung
mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti)
mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apapun
kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter
penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan
cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya,
kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya
dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal,
kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum makruh.
Hal seperti
ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum
merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal,
ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah
setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi
haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian
ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.
Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi
bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum
itu berporos pada 'illah yang
mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu
haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan
tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena
mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Keempat; kalaulah merokok itu membawa
mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu
terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah
menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat
berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini
selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang
dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya.
Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram
meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih
besar dari manfaatnya.
Diedit ulang oleh
Sya’roni As-Samfuriy dari:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar