Tampilkan postingan dengan label KELUARGA RASULULLAH SAW.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KELUARGA RASULULLAH SAW.. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Agustus 2013

KARAMAH AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI (CIKINI)

KARAMAH AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI (CIKINI)



Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi terlahir di Semarang dan wafat di Cikini, Jakarta pada tahun 1296 H/1879 M. Beliau adalah ayah dari Habib Ali Kwitang. Makam beliau terbilang unik, karena masjid atau makamnya berada di tengah-tengah proyek pengembangan apartemen di daerah Cikini Jl. Raden Saleh Jakarta.

Berikut adalah hasil wawancara Muh Subki Balya dengan Bapak Ansori, orang yang diserahi ahli bait untuk merawat masjid, pada bulan Ramadhan tahun 1434 H:

“Bahwa berdirinya masjid ini panjang dan katanya perebutan lahan ini dulu sampai berdarah, tetapi tiada stasiun TV manapun yang meliputnya. Ada seorang kaya yang berniat menggusurnya.

Sengketa tidak boleh digusur dan mau menggusur berlanjut. Sampai akhirnya yang berkuasa duit berhasil mau memindahkan makam Habib Abdurahman. Alat berat bego (alat mobil berat) dikerahkan sungguh di luar rasio akal sehat. Mobil bego itu patah.

Kemudian diambilkan mobil bego yang lebih baru dan lebih sehat. Benar-benar karamah Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi telah nampak. Mobil bego yang lebih layak dan sehat itu patah juga, bahkan patahannya hampir menyambar operator alat bego itu.

Ketika peristiwa tersebut mereda, terjadi keributan yang keduakalinya. Orang berduit itu tetap hendak mengeruk lahan tanah yang di situ terdapat makam Habib Abdurrahman. Ternyata keluarlah sumber air dari kerukan tersebut. Dari peristiwa itu dibangunlah sebuah masjid oleh keluarga di samping makam Habib Abdurrahman al-Habsyi.

Kisah unik irasional terjadi kembali. Saat pembangunan batas antara masjid dengan proyek, tepatnya di tikungan jalan tidak kunjung mengering. Air terus menggenang sehingga tidak dapat melakukan pengecoran pondasi, kurang lebih hingga 3 bulan lamanya. Saat itulah dari pihak kontraktor baru mau meminta izin sekedar berdoa di makam. Setelah itu air pun surut dan pembangunan pagar bisa dilaksanakan.”

Kejadian unik lain diceritakan pula oleh Bapak Ansori sebagai berikut:

“Ada seorang petani dengan mengendarai sepeda motor hendak melihat tanaman cabainya yang dikira sudah cukup umurnya untuk dipanen. Namun setelah meninjau berulangkali tanaman cabainya itu tidak kunjung dapat dipanen.

Datanglah ia ziarah ke makam Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi. Kemudian ia meminta kaleng yang bisa digunakan untuk mengambil air di makam Habib Abdurrahman.

Sepulangnya di rumah, air seberat kaleng cat itu dioplos (dicampurkan) dengan air yang digunakan untuk menyirami tanaman cabai. Alhamdulillah setelah itu tanaman cabainya bisa panen. Dari kejadian itu lantas ia ziarah kembali ke makam Habib Abdurahman al-Habsyi dengan membawa tumpeng sekedar berbagi rizki untuk selamatan atau tasyakuran.”


SEKILAS MANAQIB AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI

Habib Cikini, begitulah sebutan yang biasa diucapkan banyak orang untuk sosok al-Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi. Beliau terlahir dari keluarga al-Habsyi pada cabang keluarga al-Hadi bin Ahmad Shahib Syi’ib. Ia generasi pertama dari garis keturunan keluarga yang terlahir di Nusantara atau generasi kedua yang telah menetap di negeri ini.

Nasab lengkapnya adalah Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad al-Ashghar bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi.

Sebuah sumber tulisan menyebutkan bahwa kakeknya yang bernama Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi adalah yang pertama kali datang dari Hadhramaut dan menetap di Pontianak dan kemudian menikah dengan seorang putri dari keluarga Kesultanan Pontianak. Itu artinya, Habib Cikini adalah generasi kedua yang terlahir di Nusantara atau generasi ketiga yang menetap di sini.

Tulisan lainnya menyebutkan bahwa Habib Muhammad, kakeknya, ikut mendirikan Kesultanan Hasyimiyah Pontianak bersama keluarga al-Qadri.

Dalam catatan pada kitab rujukan “Nasab Alawiyyin” susunan Habib Ali bin Ja’far Assegaf ditulsikan, berdasarkan keterangan Habib Ali Kwitang yang mendapat informasi dari Habib Alwi (tinggal di Surabaya, sepupu dua kali Habib Ali Kwitang) bin Abdul Qadir bin Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi, disebutkan, Habib Muhammad bin Husein wafat di Tarbeh, Hadhramaut. Kitab Habib Ali bin Ja'far juga menuliskan dengan jelas bahwa Habib Abdullah (Ayah Habib Cikini) adalah seorang kelahiran Hadhramut, tepatnya di Tarbeh. Berdasarkan berbagai keterangan di atas, jelaslah “Habib Cikini” adalah generasi pertama dari garis keturunan keluarganya yang dilahirkan di Nusantara.

Silsilah Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi adalah: al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.

Habib Cikini sering juga disebut sebagai “Putra Semarang”. Selain pernah menetap di Pontianak, Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi (ayah Habib Cikini) yang semasa hidupnya memiliki aktivitas berdagang antar pulau, juga pernah menetap di Semarang. Namun dari sebuah tulisan menyatakan bahwa ia menikah pertamakali di Semarang.

Sebuah naskah juga menyebutkan, ibu Habib Cikini adalah seorang syarifah dari keluarga Assegaf di Semarang. Dan memang, Habib Cikini sendiri diketahui sebagai putra kelahiran Semarang. Ini berkaitan dengan catatan lainnya yang menyebutkan: “Ia wafat di Laut Kayong (daerah Sukadana, Kalimantan) pada 1249 H, atau bertepatan dengan tahun 1833 M.”

Keterangan yang disebutkan terakhir tampaknya lebih mendekati kebenaran, sebab wilayah Sukadana berseberangan langsung dengan kota Semarang di Pulau Jawa, dan Kota Semarang merupakan kota kelahiran Habib Cikini. Hal ini juga selaras dengan keterangan bahwa Habib Abdullah wafat saat berlayar dari Pontianak ke Semarang. Pada Catatan itu juga disebutkan, ia wafat saat berperang dengan “lanun”, sebutan orang Pontianak terhadap para perompak laut.

Habib Cikini juga memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Habib Syech dan Raden Saleh. Diantara sejarah kehidupan Habib Cikini yang didapat dari sejumlah sumber adalah bahwa ia sahabat karib Habib Syech bin Ahmad Bafaqih (Botoputih-Surabaya). Hal tersebut diantaranya dicatat dalam catatan kaki Ustadz Dhiya’ Shahab dalam bukunya  “Syams adz-Dzahirah”.

Begitupula menurut penulis Belanda bernama L.W.C Van Den Berg dalam buku “Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes” yang menyebutkan bahwa Habib Syech pernah menetap di Batavia selama kurang lebih 10 tahun.

Sya’roni As-Samfuriy, Subang 13 Agustus 2013

Disadur dari:


Koleksi foto-foto pembongkaran dan pemugaran Makam dan Masjid Habib Cikini bisa dilihat di sini:



Kamis, 24 Januari 2013

MENGENAL PUTRA-PUTRI RASULULLAH SAW.



MENGENAL PUTRA-PUTRI RASULULLAH SAW.

Banyak riwayat yang berbeda tentang berapa jumlah putra-putri Rasulullah Saw. Ada yang mengatakan 6 atau 7 atau 11 dan 12. Di sini tidak akan menulis panjang lebar riwayat-riwayat tersebut, karena yang paling shahih adalah 7; 3 putra  dan 4 putri. Semua putra-putri Rasulullah Saw. terlahir dari Sayyidah Khadijah al-Kubra Ra. kecuali satu satu yaitu Sayyid Ibrohim.

Selengkapnya nama putra-putri Rasulullah Saw. Adalah:
·         Putra          : Ibrahim, Qasim dan Abdullah.
·         Putri          : Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan Fathimah.

Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang dilahirkan sebelum kenabian. Ibrahim tidak berusia panjang, dia hidup hanya sampai seusia bisa berjalan. Pendapat lain menyatakan beliau hanya sampai usia 2 tahun.

Menurut riwayat Mujahid, Ibrahim hanya hidup cuma tujuh hari saja, namun riwayat ini dianggap keliru oleh Imam Ghallaby (Imam Fadhl bin Ghassan al-Ghollaby al-Baghdady. Seorang Muhaddits, Muarrikh yang wafat pada tahun 245 H. Rujuk ke kitab Mu'jam al-Muallifiin juz 8 halaman 71 dan kitab Hadiyyat al-'Arifiin juz 1 halaman 181), beliau mengatakan bahwa yang benar adalah Ibrahim hidup selama 17 bulan.

Ibnu Faris berkata bahwa Ibrahim hidup sampai ia bisa naik kendaraan (onta atau kuda) dan meninggal sebelum bi'tsah.

Dalam kitab al-Mustadrak karya al-Faryabiy (Imam al-Faryaby adalah Ja'far bin Muhammad bin Hasan bin Mustafadh Abubakar al-Faryaby. Masa hidup beliau antara 207-301 H. Beliau seorang Qadhi dan Muhaddits. Rujuk ke kitab al- A'laam juz 2 halaman 127 atau kitab Syadzaraat adz-Dzahab juz 2 halaman 235 atau kitab Tarikh Baghdad juz 7 halaman 199 atau Tadzkirat al-Huffadz juz 2 halaman 692 dan Mu'jam al-Buldan juz 6 halaman 372). Beliau mengatakan tidak ada dalil atau bukti akurat bahwa Ibrahim meninggal dalam masa Islam. Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang meninggal dunia.

Sedangkan Zainab adalah putri Rasulullah Saw. yang paling besar diantara anak perempuan Rasulullah Saw. yang lain, dan ini tanpa ada ikhtilaf. Yang terjadi ikhtilaf  (kontrofesi) hanya pada apakah Zainab dilahirkan sebelum Qasim ataukah Qasim dulu baru Zainab. Menurut Ibnu Ishaq, Zainab lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. menemui masa Islam dan ikut berhijrah. Zainab wafat tahun  8 H di pangkuan suaminya (anak laki-laki dari bibi Zainab sendiri) yaitu Abul 'Ash Laqith, ada yang mengatakan namanya adalah Muhsyam bin Rabi' bin Abdul 'Uzza bin Abdu asy-Syams.

Zainab mempunyai putra bernama Ali tapi meninggal saat masih kecil dan belum baligh. Rasulullah Saw. pernah memangku Ali naik kendaraan pada saat Fathu Makkah. Kemudian lahir pula dari Zainab ini Umamah, dimana Rasulullah Saw. pernah membawanya sholat Shubuh dan berada di pundak Rasulullah Saw. Saat Rasulullah Saw. ruku', Umamah pun diletakkannya dan ketika bangun dari sujud untuk melanjutkan rakaat berikutnya Umamah pun diangkatnya kembali di pundak beliau Saw. (Lihat dalam Shahih Muslim Bab al-Masajid, hadits no. 42, Shahih Bukhori Kitab al-Adab Bab 18 hadits no. 5696, Abu Dawud Kitab Sholat Bab 165 hadits no. 918 dll). Zainab ini pada akhirnya dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Fathimah az-Zahra.

Putri Rasulullah Saw. yang bernama Ruqayyah lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. Menurut Zuber bin Bakr dan lainnya bahwa Ruqayyah adalah perempuan yang paling besar diantara putri-putri Rasulullah Saw. Pendapat ini dishahihkan oleh al-Jurjany. Namun yang paling shahih adalah sebagaimana mayoritas ulama mengatakan Zainab adalah anak perempuan Rasulullah Saw. yang paling besar dintara putri Rasulullah Saw. lainnya.

Ruqayyah menikah denga 'Utbah bin Abu Lahab dan adiknya Ummu Kultsum menikah dengan saudara 'Utbah sendiri yaitu 'Utaibah. Ketika turun ayat:

تبت يدا أبى لهب وتب

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa". (QS. al-Lahab ayat 1).

Abu Lahab berkata kepada kedua anaknya: “Kalian akan aku bunuh jika tidak berpisah dengan kedua anak Muhammad.”  Lalu keduanyapun menceraikan masing-masing istrinya dan belum sempat mendukhul/menjima'nya.

Utsman bin 'Affan lalu menikahi Ruqayyah di Makkah. Beliau bersama istrinya Ruqayyah ikut hijrah dua kali bersama Rasulullah Saw. ke bumi Habsyah (Afrika). Ruqayyah adalah salah seorang putri Rasulullah Saw.yang parasnya cantik. Ruqayyah wafat pada saat ayahanda tercintanya yaitu Rasulullah Saw. sedang berjihad dalam perang Badr. Dalam riwayat Ibnu Abbas, ketika Rasulullah Saw. ta'ziyah setelah selesai berjihad dan datang ke rumah putrinya, beliau Saw. bersabda:

الحمد لله دفن البنات من المكرمات

“Segala puji bagi Allah yang telah mengambil diantara wanita-wanita yang teramat mulia, yakni Ruqayyah". (HR ad-Daulaby dalaam Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdady juz 5 halaman 67 dan 7.291 atau kitab Tahdzib Tarikh Dimasyqy karya Ibnu Asakir juz 1 halaman 298 dan juz 7 halaman 279, Hilyat al-Auliya juz 5 halaman 209, dan Tafsir al-Qurthuby juz 17 halaman 82 dll).

Putri Kanjeng Rasulullah Saw. yang bernama Ummu Kultsum menikah dengan 'Utsman Bin 'Affan pada tahun 3 H. Ummu Kultsum wafat pada tahun 9 H. Rasulullah Saw. sendiri yang menjadi imam sholatnya. Sedangkan yang menggali kuburan adalah Ali bin Abi Thalib, Fadhl dan Usamah bin Zaid.

Dalam Shahih Bukhori dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. ketika berada di samping kuburan Ummu Kultsum, nampak kedua mata beliau menitikkan air mata. Lalu beliau berkata: "Siapakah diantara kalian yang bersedia meletakkan jasad putriku ke dalam liang lahat?"

Lalu Abu Thalhah berkata: "Saya Ya Rasulallah."

Kemudian Rasulullah Saw. pun memerintahkan Abu Thalhah untuk turun ke kuburan.

Sedangkan Fathimah az-Zahra al-Batul menurut Abu Umar dilahirkan tahun 41 setelah kelahiran Rasulullah Saw. Ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq bahwa beliau berkata: “Semua putra-putri Rasulullah Saw. dilahirkan sebelum nubuwwah kecuali Ibrahim.” Menurut Ibnu al-Jauzy bahwa Fathimah az-Zahra al-Batul dilahirkan 5 tahun sebelum nubuwwah.

Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa putri Rasulullah Saw. yang bernama Fathimah ini, disebut Fathimah (menjaga/menutupi/melepas) karena Allah Swt. telah menjaga Fathimah beserta keluarganya dari neraka kelak pada hari kiamat. (HR. Al-Hafidz d-Dimasyqiy). Sedangkan menurut riwayat al-Ghassany dan al-Khathib karena Allah Swt. menjaga Fathimah dan orang-orang yang mencintainya dari nerka. (Lihat Imam as-Suyuthi dalam Jam' al-Jawami' no. 7780 atau Kanz al-Umal no.. 34227 dan Tanziih asy-Syari'ah karya Ibnu al-'Iraqiy juz 1 halaman 413).

Sedangkan Fathimah disebut al-Batul (terputus/terpisah) karena Fathimah berbeda dengan wanita-wanita lain di masanya baik dalam soal agama, keutamaan dan keturununanya. Menurut pendapat lain karena Fathimah adalah wanita yang melepaskan hatinya dari dunia dan selalu asyik dengan Allah. Demikian menurut Ibnu al-Atsir.

Fathimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada tahun ke-2 Hijriyyah. Pendapat lain mengatakan setelah terjadi perang Uhud. Pendapat lainnya mengatakan Fathimah menikah dengan Sayidina Ali 4,5 bulan setelah Rasulullah Saw. menikahi 'Aisyah. Pendapat lain mengatakan terjadi di bulan Shafar tahun 2 H. Dan masih ada beberapa riwayat lain yang berbeda.

Saat menikah dengan Ali bin Abi Thalib, usia Fathimah az-Zahra adalah 15 tahun 5 bulan setengah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib usianya 21 tahun 5 bulan. Ada riwayat lain juga yang berbeda.

Menurut Abu Umar Fathimah dan Ummu Kultsum adalah paling utama-utamanya putri Rasulullah Saw. Fathimah adalah putri Rasulullah Saw. yang sangat dicintai oleh Rasulullah Saw. Jika Rasulullah Saw. hendak bepergian, beliau lebih dulu mencium putrinya Fathimah. Begitupun setelah pulang dari bepergian,Fathimah lah yang lebih dulu ditemui oleh Rasulullah Saw.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda: "Fathimah adalah bagian dariku. Barangsiapa memurkainya berarti telah memurkaiku." (HR. Bukhari no. 3417, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 3 halaman 158, as-Sunan al-Kubra Imam Baihaqiy juz 7 halaman 64 dll).

Dalam hadits lainnya Rasulullah Saw. berkata kepada putri tercintanya ini: “Fathimah apakah engkau ridho bahwa engkau adalah pemimpin dari seluruh wanita mukmin.” (HR. Muslim no. 98, Musykil al-Atsar karya ath-Thahawy juz 1 halaman 51, Ithaf as-Sadat al-Muttaqin karya az-Zabidy juz 6 halaman 244 dll).

Sedang dalam riwayat Ahmad Rasulullah Saw. bersabda: “Fathimah adalah paling utamanya wanita surga.” (HR. Ahmad juz 3 halaman 80 dan juz 5 halaman 391 dll).

Fathimah az-Zahra al-Batul wafat 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw. pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 11 H. Wafat dalam usia 29 tahun.

Pernikahan Fathimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib melahirkan Hasan, Husein dan Muhassin (ada yang mengatakan Muhsin). Muhassin meninggal saat masih kecil, kemudian Ummu Kultsum dan Zainab.

Rasulullah Saw. tidak punya keturunan selain dari putrinya Fathimah ini yang kemudian nasab Rasulullah Saw. yang mulia ini tersebar melalui Sayyidinaa Hasan dan Husein. Sehingga jika dinisbatkan kepada keduanya, maka muncul al-Hasany dan al-Husainy. Diantara generasi pertama dari Dzurriyyah Sayyidina Husein adalah keluarga Ishaq bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib al-Ishaqy. Yang kemudian disebut al-Husainy al-Ishaqy.

Ishaq ini adalah suami sayyidah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Terlahir dari sini dua orang yaitu Qasim dan Ummu Kultsum, namun tidak punya keturunan.

Kemudian Umar bin Khaththab menikahi Ummu Kultsum binti Fathimah mempunyai dua anak yang bernama Zaid dan Ruqayyah namun tidak punya keturunan. Kemudian Ummu Kultsum menikah lagi setelah wafatnya Umar bin Khaththab dengan 'Aun bin Ja'far.

Setelah 'Aun meninggal Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudaranya 'Aun sendiri yaitu Muhammad bin Ja'far. Lalu Muhammad bin Ja'far pun wafat. Setelah wafatnya Muhammad bin Ja'far,Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudara dari 'Aun dan Muhammad ini yaitu Abdullah bin Ja'far lalu dengan yang terakhir ini Ummu Kultsum wafat.

Dari ketiga saudara yang menikahi Ummu Kultsum ini tidak ada yang memberi keturunan, hanya satu dari Muhammad bin Ja'far yaitu anak perempuan kecil yang akhirnya tidak juga punya keturunan.

Setelah wafatnya Ummu Kultsum, maka Abdullah bin Ja'far pun menikahi saudara perempuan Ummu Kultsum yang bernama Zainab binti Fathimah dan mempunyai beberapa orang anak diantaranya adalah Ali dan Ummu Kultsum. Ummu Kultsum yang ini menikah dengan anak pamannya sendiri yang bernama Qasim bin Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib, dan punya beberapa anak diantaranya Fathimah yang kemudian dinikahi oleh Hamzah bin Abdullah bin Zuber bin Awwam yang juga punya keturunan.

Jadi di sini ada kesimpulan penting bahwa keturunan dari Abdullah bin Ja'far tersebar melalui Ali dan adiknya Ummu Kultsum yang dua-duanya ini terlahir dari rahim Zaenab binti Fathimah az-Zahra.

Dzurriyyah yang datang setelahnya dari keturunan ini biasa disebut dengan Ja'fary. Berarti jelas tak ada keraguan sedikitpun mengenai kemuliaan nasab ini. Bagaimanapun kemuliaan keluarga yang dinisbatkan kepada Ja'far ini tetap di bawah kemuliaan Dzurriyyah yang dinisbatkan kepada Sayyidina Hasan dan Husein. Laqab atau gelar Syarif (orang-orang mulia berdasar keturunan) ini juga diberikan pada golongan Abbas atau Abbasiyyun karena mereka berasal dari keluarga Bani Hasyim.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa golongan gelar Syarif diberikan kepada Abbasiyyin di Baghdad dan gelar  Alawy di mesir. Syarif dan Alawy maknanya sama yaitu mulia.

Wallahu al-Musta’aan

Sya’roni, Indramayu 13 Rabi’ul Awwal 1434 H

Minggu, 13 Januari 2013

PEWARIS PERJUANGAN GURU MULIA



PEWARIS PERJUANGAN GURU MULIA
Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz BSA
Oleh: Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa



Peristiwa agung itu terjadi ketika Guru Mulia Al-Habib Umar bin Hafidz berkunjung ke Indonesia pada tahun 1993.

Kepulangan beliau merupakan ikatan janji untuk membawa santri-santri buat menuntut ilmu kepada beliau di Tarim, Hadhramaut. Maka pada bulan Syawwal itu kami:

1.      Ustadz Muhammad al-Baiti (Sumenep), menantunya Al-habib Musthofa Ba’abud Kediri
2.      Al-Habib Muhammad Haikal Khanamen (Jakarta),
3.      Al-Habib Soleh al-Jufri (Solo),
4.      Al-Habib Mahdi bin Muhammad al-Hiyed (Tegal),
5.      Ustadz Munthohhar Ridho (Pontianak),
6.      Ustadz Ahmad Idris (Palembang),
7.      Ustadz Hamzah (Bekasi),
8.      Ustadz Ridhwan al-Amri (Puncak, Bogor),
9.      Ustadz Nurhadi (Pasuruan),
10.  Ustadz Mufti (Pasuruan),
11.  Ustadz Azmi at-Tamimi (Pontianak),
12.  Ustadz Ubaidillah (Jakarta),
13.  Ustadz Yahya Rosyad (Purwodadi),
14.  Ustadz Salim Nur (Malang),
15.  Ustadz Ibrahim at-Tamimi (Pontianak),
16.  Ustadz Junaidi (Pontianak),
17.  Al-Habib Shadiq Hasan Baharun (Sumenep),
18.  Al-Habib Quraisy Baharun (Bangil),
19.  Al-Habib Abdul Bari bin Smith (Manado),
20.  Al-Habib Ja’far Bagir al-Attas (Jakarta),
21.  Al-Habib Hasan al-Muhdhor (Samarinda),
22.  Al-Habib Hasan bin Ismail al-Muhdhor (Purbalingga),
23.  Al-Habib Hadi al-Aydrus (pasuruan),
24.  Al-Habib Jindan bin Novel bin Jindan (Jakarta),
25.  Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Kaff (Jatibarang Brebes)
26.  Al-Habib Abdullah bin Hasan al-Haddad (Tegal),
27.  Al-Habib Ali Zainal Abidin al-Hamid (Jember),
28.  Al-Habib Haidar al-Hinduan (Situbondo),
29.  Al-Habib Anis bin Husin al-Attas (Pekalongan),
30.  Al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawwa (Jakarta),

tiba di Tarim, disambut di kediaman Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Kami tinggal di kediaman Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz beberapa hari, lalu dipindahkan ke rumah kontrakan di belakang rumah beliau.

Rumah yang sangat sederhana, yang temboknya terbuat dari tanah dan lantainya dari plester. Bila kami bersandar, tanah pasir itu mencokelatkan baju kami.

Suasana yang sangat panas membuatbkami sangat  sulit untuk bisa duduk
dengan tenang. Ditambah pula dalam beberapa waktu kemudian, berkecamuk perang saudara di Yaman, antara Yaman Utara dengan Yaman Selatan.

Kami tidak terlibat dalam peperangan itu dan tidak terpengaruh apa-apa, karena tempat belajar kami bukan termasuk wilayah basis militer.

Kota Tarim tetap damai, tapi imbasnya adalah sulit mencari bahan pangan. Masya Allah.. beras sulit, kami hanya dapat roti keras yang sudah membatu, tak bisa dimakan kecuali dibenamkan ke air agar lembut.

Listrik hanya menyala 6 jam setiap harinya, air minum pun sulit. Dan kami harus mengantri di masjid-masjid yang memang punya sumur sendiri.

Kami mngunjungi majelis-majelis di kota Tarim stiap harinya dengan mobil Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz. Namun, karena saat perang bensin tak ada, kami harus berjalan kaki sejauh kira-kira 2 km.

Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz selalu menyejukkan hati kami. Beliaulah yang membuat ht kami tenang, walau kami tak punya uang lagi karena pengiriman uang dari luar negeri terputus. Bahkan telepon pun terputus dan kop surat ditutup.


Sisa-sisa Roti

Meski sulit, beliau memberikan persediaan pangan untuk kami sebelum diri Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz dan keluarga beliau.

Kami ingat, suatu malam, ketika kami selesai makan roti keras yang dicelup dengan kuah sone (kuah sayur), tinggallah potongan-potongan kecil yang akan dibuang. Tiba-tiba datanglah putra Guru Mulia, Salim namanya. Saat ptu usia Salim sekitar 5 tahun. Ia berkata: “Ayah, apakah masih ada sisa roti dan kuah sone? Kami sekeluarga belum asya (makan malam).”

Kami kaget, Masya Allah..!! tidak ada makanan. Itu hanya potongan-potongan kecil
bekas kami makan. Salim memaksa untuk membawanya ke rumah, maka kami carikan dan kami pilihkan sisa-sisa yang masih baik, lalu dikumpulkan dan dibawa ke dapur beliau.

Demikian perjuangan kami, yang sangat sulit, dan lebih-lebih lagi perjuangan Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, karena terbebani tanggungan puluhan santri Warga Negara Asing di rumah beliau.

Tahun demi tahun dakwah semakin berkembang. Kami sempat tinggal di kota Syihr dekat Mukalla, lalu kembali ke Tarim dan tinggal di masjid Attaqwa. Kami hanya mendengar bahwa ada bangunan untuk pesantren yang sedang dibangun oleh Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Kami tak tahu di mana persisnya hingga tahun 1998 Darul Musthafa diresmikan. Ancar-ancarnya sekitar 2 km dari pusat kota Tarim. Guru-gurunya diantaranya yaitu; Al-Habib Masyhur bin Hafidz (Mufti Tarim), juga Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, dan ada guru-guru dari Mesir.

Kami tinggal di Darul Musthafa hanya beberapa bulan sebelum pulang ke Indonesia. Tempat itu sangat mewah, dilengkapi AC, bus-busnya ber-AC juga, klinik, swimming pool, karpet tebal yang dikirim dari Inggris, bangunan mewah, Masya Allah...

Kami ingat, dulu kami membasahi baju dengan air agar bisa tidur, karena kipas tidak berjalan disebabkan ketiadaan aliran listrik.

Kami ingat, dulu bila berangkat untuk ta’lim kami berjalan kaki di atas tanah yang berdebu di tengah teriknya matahari.

Kami ingat, dulu kami hanya bisa duduk di atas lantai bersemen dan tanah.

Kami ingat, dulu pakaian kami berwarna cokelat karena jarang dicuci dengan sabun, sebab harga sabun mahal, ditambah lagi air pun sulit didapat.

Tahun 1998 kami kembali ke Tanah Air, dan angkatan baru terus berdatangan ke Darul Musthafa. Para alumnus itu kembali ke Tanah Air kelompok demi kelompok.

Semoga para santri ini mewarisi semangat juang Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Semoga cahaya sanubari beliau berpijar membimbing murid-muridnya, juga umumnya untuk seluruh muslimin, dalam kemuliaan dan keluhuran. Aamiin...


Sebagai pungkasan kami sertakan kalam Guru Mulia Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa:

“Sampaikan semua yang engkau dengar dan kau fahami dari keluhuran sunnah Nabi Muhammad Saw. Kepada temanmu, keluargamu, kerabatmu dan siapa pun yang bisa disampaikan baik dengan ucapan, lewat surat, email, sms, facebook, dan dengan apa saja yang bisa menjadi perantara untuk kau menyampaikan.”


Ditulis ulang oleh: Sya'roni As Samfuriy, Indramayu, 1 Rabi’ul Awwal 1434 H
 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=393403574083654&set=a.356613851095960.85503.347695735321105&type=1&comment_id=1026892&ref=notif&notif_t=photo_comment_tagged&theater