Tampilkan postingan dengan label TARIM AL-GHANA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TARIM AL-GHANA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Januari 2013

PROFIL GURU MULIA AL-HABIB ALI BIN ABDURRAHMAN AL-JUFRI



PROFIL GURU MULIA AL-HABIB ALI BIN ABDURRAHMAN AL-JUFRI

 

Penampilan Fisik Al-Habib Ali Al-Jufri

Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.

Tetapi kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah berbicara di forum, orang akan terkagum-kagum lagi dengan kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk, lalu mengoreksi diri sendiri.

Namun jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh.

Wajar, karena ia memang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan.

Itulah sebagian gambaran al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufri, sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat. Ia memang sosok yang istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya. Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal? 


Kelahiran dan Nasab Al-Habib Ali Al-Jufri

Al-Habib Ali al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang Fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali al-Jufri.

Di masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari ibundanya, seorang alimah dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin Hasan al-Jufri. Wanita shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkannya ke jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah.


Pendidikan dan Guru-guru Al-Habib Ali Al-Jufri

Setelah itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari para tokoh besar. Al-Quthb al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama al-Habib Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.

Ia juga berguru kepada al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Diantara kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah Asrar `Ulum al-Muqarrabin.

Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki juga salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits, ushul, dan sirah. Sedangkan kepada al-Habib Hamid bin Alwi bin Thahir al-Haddad, ia membaca al-Mukhtashar al-Lathif dan Bidayah al-Hidayah.

Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada al-Habib Abu Bakar al-`Adni bin Ali al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, ar-Risalah al-Jami`ah, Bidayah al-Hidayah, al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, Tafsir al-Jalalain, Tanwir al-Aghlas, Lathaif al-Isyarat, Tafsir Ayat al-Ahkam, dan Tafsir al-Baghawi.

Pada tahun 1412 H (1991 M) al-Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M). Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi al-Habib Umar bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, al-Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab Suluk al-Murid, Risalah al-Mu`awanah, Minhaj al-`Abidin, al-`Iqd an-Nabawi, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Hikam, dan sebagainya.

Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti asy-Syaikh Umar bin Husain al-Khathib, asy-Syaikh as-Sayyid Mutawalli asy-Sya`rawi, asy-Syaikh Ismail bin Shadiq al-Adawi di al-Jami` al-Husaini dan di al-Azhar asy-Syarif, Mesir, juga asy-Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Disamping itu, al-Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang ilmu.    


Dakwah Al-Habib Ali Al-Jufriy

Berbekal berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah pengalaman berkat tempaan para gurunya, ia pun mulai menjalankan misi dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai pada tahun 1414 H/1993 dan terus berlangsung hingga kini.

Berbagai kawasan negara dikunjunginya. Misalnya negara-negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Jibouti.

Negara-negara non-Arab di Asia, diantaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, Sri Lanka. Di Afrika, diantaranya ia mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan di Eropa, dakwahnya telah merambah Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia Herzegovina, dan Turki.

Ia pun setidaknya telah empat kali mengadakan perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua tahun 2001, ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Disamping juga mengunjungi Kanada

Perjalanan dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan tersendiri di hati para jama’ah yang mendengarkan penjelasan dan pesan-pesannya. Di Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal di Barat, yang cenderung keras hatinya, ternyata bisa lunak di tangan al-Habib Ali.

Di Amerika ada yang merasa bahwa memandang dan berkumpul bersama al-Habib Ali al-Jufri selama satu malam cukup untuk memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan. Di Inggris ia terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark ia  mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa.

Di Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun, bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun merangkul para dai muda di Timur Tengah, serta membimbing dan memberikan petunjuk kepada para pemuda yang berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.

Dalam berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia memasuki kalangan yang paling bawah, seperti suku-suku di Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu Dhabi. Ia berhubungan dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim, seperti asy-Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (mufti de facto negeri Syria), asy-Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya.

Banyak sekali bintang film, artis dan aktris, para seniman, di Mesir yang bertaubat di tangannya. Artis yang sebelumnya “terbuka” jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah.

Kini ia pun secara rutin tampil di televisi. Penyampaian dakwahnya menyentuh akal dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan simpatik, pandangan-pandangannya yang cerdas dan tajam, pembawaannya yang menarik hati, membuatnya semakin berpengaruh dari waktu ke waktu.

Kemunculan al-Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar bagi kaum muslimin, terutama kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan dakwah kalangan yang cenderung keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai ruhani, serta cenderung menyerang orang lain, dan banyak menekankan pada model konflik ketimbang harmoni dengan kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang masyarakat muslim sekarang sebagai reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah.


Tragedi Kartun Nabi

Beberapa waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi sebagian kalangan muslim yang penuh amarah dan tindak kekerasan di dalam menanggapinya, al-Habib Ali al-Jufri dengan kesejukan hatinya serta ketajaman pandangan, pikiran, akal, dan mata batinnya telah melakukan serangkaian langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap, langkah-langkahnya akan berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang tinggal di negara-negara Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa kini dan akan datang.

Bukannya melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya terhadap Islam dan muslimin, al-Habib Ali justru secara cerdas melihat hal ini sebagai peluang dakwah yang besar untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka, untuk menjelaskan secara bebas tentang Rasulullah Saw. dan berdialog dengan penduduk serta kalangan pers di sana tentang agama ini dan tentang fenomena muslimin. Singkatnya, ia justru melihat ini sebagai peluang dakwah yang besar.

Tentu saja cara pandang al-Habib Ali juga disebabkan pemahamannya yang sangat dalam tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu karakter terbesar mereka adalah mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir rasional, dan memiliki sikap siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini, ditambah sorotan perhatian kepada Rasulullah Saw., merupakan peluang besar untuk memberikan penjelasan. Mereka ingin tahu tentang Nabi Saw., berarti mereka dalam kondisi siap mendengarkan. Mereka rasional, berarti siap untuk mendapatkan penjelasan yang logis.

Apabila kita bisa menjelaskan tentang Nabi Saw. dan agama ini kepada mereka dengan cara yang menyentuh akal dan hati mereka, maka kita justru akan bisa mengubah mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang netral menjadi pro, yang pro menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati, yang keras menjadi lembut, yang marah menjadi dingin, yang acu menjadi penasaran. Sekaligus pula mencegah simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti dan seterusnya.

Karena karakter masyarakat Barat yang terbuka, toleran, lebih bisa menerima keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka bebas. Inilah ranah ideal untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i yang berfikiran terbuka, berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi kondisi, dan memiliki dada yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif, serta giat melakukan pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah al-Habib Ali al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang dialogis. 


Terjalinnya Silaturahim dan Bersatu dalam Mahabbah

Tentu saja untuk berani melakukan dialog dengan pers Barat dibutuhkan kecerdasan dan keluasan berpikir serta pemahaman atas pola berpikir masyarakat Barat. Al-Habib Ali dan para dai ini, selain sangat memahami masyarakat Barat, juga memiliki tim khusus yang melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah dan mendetail tentang subyek apapun yang dibutuhkan.

Ketika melihat berbagai reaksi yang ada atas kasus kartun Nabi, al-Habib Ali menemukan satu benang merah: “Semua kelompok dalam masyarakat Islam marah”. Kemarahan yang mencerminkan masih adanya sisa-sisa mahabbah kepada Nabi Saw. ini bersifat lintas madzhab, lintas thariqah, lintas jama’ah, bahkan lintas aqidah.

Al-Habib Ali melihat ini sebagai peluang pula untuk menyatukan visi kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka. Kalau kaum muslimin tak bisa bersatu dalam madzhab, thariqah, bahkan aqidah, mereka ternyata bisa disatukan dalam mahabbah dan pembelaan terhadap Nabi Saw.

Langkah al-Habib Ali tidak berhenti di sini. Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat. Kemudian ia bersama kelompok dai ini mengadakan safari intensif keliling Eropa bertemu dengan kalangan pers dan berbagai kalangan lainnya untuk memberikan penjelasan.

Al-Habib Ali dan para dai tersebut mengambil momen ini untuk memupuk cinta muslimin kepada Rasulullah Saw., untuk menghidupkan lagi tradisi-tradisi yang lama mati, dan untuk mengajak muslim berakhlaq mulia sebagaimana akhlaq Nabinya, sambil mengingatkan kaum muslimin yang berdemo agar menjaga adab dan akhlaq Nabi Saw.

Ia juga menyeru kepada kaum muslimin untuk memanfaatkan momen ini dengan menghadiahkan buku-buku tentang Nabi Muhammad Saw. kepada para tetangga dan kawan-kawan mereka yang non-muslim, serta untuk membuka topik untuk menjelaskan kepada mereka tentang Rasulullah dan kedudukan beliau di lubuk hati kaum muslimin.

Bukan hanya itu. Ia pun memanfaatkan momen ini untuk menyatukan dai-dai sedunia dalam satu shaf dan mempelopori berdirinya organisasi dai sedunia. Yang menarik, dalam semua tindakan dan langkahnya ini, ia senantiasa menggandeng, berkoordinasi, dan bermusyawarah serta melibatkan para ulama besar dunia, seperti asy-Syaikh Muhammad Sa`id Ramadhan al-Buthi, asy-Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya. Sehingga gerakan ini menjadi gerakan kolektif, milik bersama, bukan milik al-Habib Ali saja.

Sebagai salah satu dampak dari gerakan ini adalah terjalinnya silaturahim dan tersambungnya komunikasi yang sebelumnya terputus atau kurang intensif di antara para ulama dan dai muslimin karena mereka menjadi giat berkomunikasi lintas madzhab, pemikiran, kecenderungan pribadi, bahkan lintas aqidah.

Gerakan yang dipelopori al-Habib Ali ternyata mampu mengikat sejumlah besar pemuka Islam dari berbagai latar belakang yang berbeda ke dalam satu shaf lurus yang panjang untuk bersama-sama menanggapi sebuah isu internasional dengan satu suara bulat yang tidak terpecah-pecah.  Kita berharap, ini tidak akan berakhir, bahkan justru menjadi sebuah awal dari persatuan ulama dan dai-dai muslimin. Aamiin yaa Ilaahanaa Ilaahal Ma’buud.

Disadur dari berbagai sumber

Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 10 Rabi’ul Awwal 1434 H

Senin, 21 Januari 2013

Al-Habib Salim Asy-Syathiri Berbincang Kuliner Tertua



Al-Habib Salim Asy-Syathiri Berbincang Kuliner Tertua


Jika Anda bertanya, “Kuliner apakah yang tertua saat ini?” Jawabnya tentu satu, yaitu: roti/khubz.

Kenapa harus roti? Itulah pertanyaan yang aku tanyakan kepada al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri di Halaqoh Fathal Mu'iin di Rubath Tarim, dan beliau menjawab dengan beberapa hal keutamaan roti:
·         Roti/khubz adalah satu-satunya kuliner tertua di dunia, sebagaimana disebutkan bahwa Nabi Adam adalah seorang petani, waktunya dibagi menjadi empat; satu waktu menanam, satu waktu merawat, satu waktu memanen, dan satu waktu mengolahnya menjadi makanan, dan makanan itu adalah roti.
·         Roti adalah makanan pokok pada zaman Rasulullah Saw.
·         Dalam sebuah hadits disebutkan: "Berkahnya makanan dengan banyaknya tangan". Banyak tangan di sini memiliki dua arti, pertama banyak tangan dalam nampan, dan kedua banyak tangan dalam pembuatannya, dan roti adalah makanan yang paling banyak dalam prosesnya (petani - tukang selep - tukang tepung - tukang roti - penjual roti).
·         Roti adalah makanan yang diolah secara sehat, dengan bahan sehat, tanpa proses kimiawi.
·         Satu-satunya makanan yang disebut-sebut dalam kitab suci beragama adalah roti, sebagaimana injil mengajarkan doa-doa bagi orang Nasrani: "Tuhan jangan pernah melupakan roti kami di hari ini".

Minggu, 13 Januari 2013

PEWARIS PERJUANGAN GURU MULIA



PEWARIS PERJUANGAN GURU MULIA
Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz BSA
Oleh: Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa



Peristiwa agung itu terjadi ketika Guru Mulia Al-Habib Umar bin Hafidz berkunjung ke Indonesia pada tahun 1993.

Kepulangan beliau merupakan ikatan janji untuk membawa santri-santri buat menuntut ilmu kepada beliau di Tarim, Hadhramaut. Maka pada bulan Syawwal itu kami:

1.      Ustadz Muhammad al-Baiti (Sumenep), menantunya Al-habib Musthofa Ba’abud Kediri
2.      Al-Habib Muhammad Haikal Khanamen (Jakarta),
3.      Al-Habib Soleh al-Jufri (Solo),
4.      Al-Habib Mahdi bin Muhammad al-Hiyed (Tegal),
5.      Ustadz Munthohhar Ridho (Pontianak),
6.      Ustadz Ahmad Idris (Palembang),
7.      Ustadz Hamzah (Bekasi),
8.      Ustadz Ridhwan al-Amri (Puncak, Bogor),
9.      Ustadz Nurhadi (Pasuruan),
10.  Ustadz Mufti (Pasuruan),
11.  Ustadz Azmi at-Tamimi (Pontianak),
12.  Ustadz Ubaidillah (Jakarta),
13.  Ustadz Yahya Rosyad (Purwodadi),
14.  Ustadz Salim Nur (Malang),
15.  Ustadz Ibrahim at-Tamimi (Pontianak),
16.  Ustadz Junaidi (Pontianak),
17.  Al-Habib Shadiq Hasan Baharun (Sumenep),
18.  Al-Habib Quraisy Baharun (Bangil),
19.  Al-Habib Abdul Bari bin Smith (Manado),
20.  Al-Habib Ja’far Bagir al-Attas (Jakarta),
21.  Al-Habib Hasan al-Muhdhor (Samarinda),
22.  Al-Habib Hasan bin Ismail al-Muhdhor (Purbalingga),
23.  Al-Habib Hadi al-Aydrus (pasuruan),
24.  Al-Habib Jindan bin Novel bin Jindan (Jakarta),
25.  Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Kaff (Jatibarang Brebes)
26.  Al-Habib Abdullah bin Hasan al-Haddad (Tegal),
27.  Al-Habib Ali Zainal Abidin al-Hamid (Jember),
28.  Al-Habib Haidar al-Hinduan (Situbondo),
29.  Al-Habib Anis bin Husin al-Attas (Pekalongan),
30.  Al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawwa (Jakarta),

tiba di Tarim, disambut di kediaman Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Kami tinggal di kediaman Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz beberapa hari, lalu dipindahkan ke rumah kontrakan di belakang rumah beliau.

Rumah yang sangat sederhana, yang temboknya terbuat dari tanah dan lantainya dari plester. Bila kami bersandar, tanah pasir itu mencokelatkan baju kami.

Suasana yang sangat panas membuatbkami sangat  sulit untuk bisa duduk
dengan tenang. Ditambah pula dalam beberapa waktu kemudian, berkecamuk perang saudara di Yaman, antara Yaman Utara dengan Yaman Selatan.

Kami tidak terlibat dalam peperangan itu dan tidak terpengaruh apa-apa, karena tempat belajar kami bukan termasuk wilayah basis militer.

Kota Tarim tetap damai, tapi imbasnya adalah sulit mencari bahan pangan. Masya Allah.. beras sulit, kami hanya dapat roti keras yang sudah membatu, tak bisa dimakan kecuali dibenamkan ke air agar lembut.

Listrik hanya menyala 6 jam setiap harinya, air minum pun sulit. Dan kami harus mengantri di masjid-masjid yang memang punya sumur sendiri.

Kami mngunjungi majelis-majelis di kota Tarim stiap harinya dengan mobil Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz. Namun, karena saat perang bensin tak ada, kami harus berjalan kaki sejauh kira-kira 2 km.

Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz selalu menyejukkan hati kami. Beliaulah yang membuat ht kami tenang, walau kami tak punya uang lagi karena pengiriman uang dari luar negeri terputus. Bahkan telepon pun terputus dan kop surat ditutup.


Sisa-sisa Roti

Meski sulit, beliau memberikan persediaan pangan untuk kami sebelum diri Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz dan keluarga beliau.

Kami ingat, suatu malam, ketika kami selesai makan roti keras yang dicelup dengan kuah sone (kuah sayur), tinggallah potongan-potongan kecil yang akan dibuang. Tiba-tiba datanglah putra Guru Mulia, Salim namanya. Saat ptu usia Salim sekitar 5 tahun. Ia berkata: “Ayah, apakah masih ada sisa roti dan kuah sone? Kami sekeluarga belum asya (makan malam).”

Kami kaget, Masya Allah..!! tidak ada makanan. Itu hanya potongan-potongan kecil
bekas kami makan. Salim memaksa untuk membawanya ke rumah, maka kami carikan dan kami pilihkan sisa-sisa yang masih baik, lalu dikumpulkan dan dibawa ke dapur beliau.

Demikian perjuangan kami, yang sangat sulit, dan lebih-lebih lagi perjuangan Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, karena terbebani tanggungan puluhan santri Warga Negara Asing di rumah beliau.

Tahun demi tahun dakwah semakin berkembang. Kami sempat tinggal di kota Syihr dekat Mukalla, lalu kembali ke Tarim dan tinggal di masjid Attaqwa. Kami hanya mendengar bahwa ada bangunan untuk pesantren yang sedang dibangun oleh Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Kami tak tahu di mana persisnya hingga tahun 1998 Darul Musthafa diresmikan. Ancar-ancarnya sekitar 2 km dari pusat kota Tarim. Guru-gurunya diantaranya yaitu; Al-Habib Masyhur bin Hafidz (Mufti Tarim), juga Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, dan ada guru-guru dari Mesir.

Kami tinggal di Darul Musthafa hanya beberapa bulan sebelum pulang ke Indonesia. Tempat itu sangat mewah, dilengkapi AC, bus-busnya ber-AC juga, klinik, swimming pool, karpet tebal yang dikirim dari Inggris, bangunan mewah, Masya Allah...

Kami ingat, dulu kami membasahi baju dengan air agar bisa tidur, karena kipas tidak berjalan disebabkan ketiadaan aliran listrik.

Kami ingat, dulu bila berangkat untuk ta’lim kami berjalan kaki di atas tanah yang berdebu di tengah teriknya matahari.

Kami ingat, dulu kami hanya bisa duduk di atas lantai bersemen dan tanah.

Kami ingat, dulu pakaian kami berwarna cokelat karena jarang dicuci dengan sabun, sebab harga sabun mahal, ditambah lagi air pun sulit didapat.

Tahun 1998 kami kembali ke Tanah Air, dan angkatan baru terus berdatangan ke Darul Musthafa. Para alumnus itu kembali ke Tanah Air kelompok demi kelompok.

Semoga para santri ini mewarisi semangat juang Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Semoga cahaya sanubari beliau berpijar membimbing murid-muridnya, juga umumnya untuk seluruh muslimin, dalam kemuliaan dan keluhuran. Aamiin...


Sebagai pungkasan kami sertakan kalam Guru Mulia Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa:

“Sampaikan semua yang engkau dengar dan kau fahami dari keluhuran sunnah Nabi Muhammad Saw. Kepada temanmu, keluargamu, kerabatmu dan siapa pun yang bisa disampaikan baik dengan ucapan, lewat surat, email, sms, facebook, dan dengan apa saja yang bisa menjadi perantara untuk kau menyampaikan.”


Ditulis ulang oleh: Sya'roni As Samfuriy, Indramayu, 1 Rabi’ul Awwal 1434 H
 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=393403574083654&set=a.356613851095960.85503.347695735321105&type=1&comment_id=1026892&ref=notif&notif_t=photo_comment_tagged&theater