Tampilkan postingan dengan label WASIAT PARA ULAMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WASIAT PARA ULAMA. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Januari 2013

Al-Habib Salim Asy-Syathiri Berbincang Kuliner Tertua



Al-Habib Salim Asy-Syathiri Berbincang Kuliner Tertua


Jika Anda bertanya, “Kuliner apakah yang tertua saat ini?” Jawabnya tentu satu, yaitu: roti/khubz.

Kenapa harus roti? Itulah pertanyaan yang aku tanyakan kepada al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri di Halaqoh Fathal Mu'iin di Rubath Tarim, dan beliau menjawab dengan beberapa hal keutamaan roti:
·         Roti/khubz adalah satu-satunya kuliner tertua di dunia, sebagaimana disebutkan bahwa Nabi Adam adalah seorang petani, waktunya dibagi menjadi empat; satu waktu menanam, satu waktu merawat, satu waktu memanen, dan satu waktu mengolahnya menjadi makanan, dan makanan itu adalah roti.
·         Roti adalah makanan pokok pada zaman Rasulullah Saw.
·         Dalam sebuah hadits disebutkan: "Berkahnya makanan dengan banyaknya tangan". Banyak tangan di sini memiliki dua arti, pertama banyak tangan dalam nampan, dan kedua banyak tangan dalam pembuatannya, dan roti adalah makanan yang paling banyak dalam prosesnya (petani - tukang selep - tukang tepung - tukang roti - penjual roti).
·         Roti adalah makanan yang diolah secara sehat, dengan bahan sehat, tanpa proses kimiawi.
·         Satu-satunya makanan yang disebut-sebut dalam kitab suci beragama adalah roti, sebagaimana injil mengajarkan doa-doa bagi orang Nasrani: "Tuhan jangan pernah melupakan roti kami di hari ini".

Minggu, 20 Januari 2013

Husnudzdzann (Berperasangka Baik) adalah Ibadah Terindah



Husnudzdzann (Berperasangka Baik) adalah Ibadah Terindah



Oleh: KH. Ahmad Madzkur Awab 

Dalam taushiyahnya al-Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan  mengutip Hadits Rasul Saw. yang bersabda:

 أذكروا محاسن موتاكم 

“Sebutkanlah hal-hal kebaikan pada orang-orang yang telah wafat.”

Jangan malah mencaci atau bahkan menggunjingi yang jelas pendahulu kita apalagi tokoh ummat adalah orang yang lebih terdahulu berkiprah untuk ummat. Sebelum kita
mau melaknat atau mencaci iblis sekalipun kita ini dapat apa? Walaupun jutaan kali, kata Habib Jindan.

Apalagi yang dicaci adalah orang mukmin muslim yang juga belum tentu kita lebih afdhal atau lebih selamat darinya. Akhlaq Rasul Saw. adalah Akhlaq al-Quran. Bagaimana kalau kita mau mencontoh Nabi? Dalam firman Allah Swt. kita baca bagaimana cermin seorang mukmin:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Wahai Rabb Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman (berada) dalam hati kami. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr ayat 10)

Jadi marilah kita jangan mencaci para ulama, kalau kita mau mencontoh Nabi Saw. Coba kita ingat saat Nabi Saw. dan para sahabatnya diembargo sampai makan dedaunan pohon dan dilempari kotoran disaat melakukan sholat, saat melewati satu jalan dilempari batu bahkan hampir dibunuh dikatain tukang sihir sampai disayembarakann siapa yang dapat memenggal kepala beliau Saw. akan dikasih seratus onta.

Wah kalau onta-onta itu diuangkan menjadi milyaran, tapi bagaimana sikap beliau Saw. ketika Fathu Makkah apa beliau Saw. mencincang-cincang orang tadi? Menyiksa orang yang menghina Islam dan Rasul tidak? Tapi bagaimanakah Nabi membalas mereka dengan berkata pada mereka saat Fathu Makkah:

ما تظنون أني فاعل بكم

“Apa yang kamu sangka atau kamu kira-kirakan tentang sesuatu yang akan aku lakukan pada kalian sekarang?”

Mereka menjawab:

أنت كربم ابن الكريم

“Engkau pemurah hati yang mulia dan keturunan para pemurah hati.”

Hehehe mana kok sekarang gak bilang Nabi Saw. tukang sihir atau gila atau pendusta? Begitulah kalau sudah posisi di bawah, tapi bagaimana Nabi Saw. mendengar jawaban tadi, apa Nabi Saw. malah menyiksa mereka atau mengungkitlah minimal apa yang mereka perbuat pada Nabi Saw.? Allahumma sholli ‘alaa Muhammad... tidak!!! Tidak!!! Akan tetapi Nabi Saw. berkata:

إذهبوا وأنتم الطلقاء

“Pergilah kalian... kalian semua bebas dan aman.” 

Allahumma sholli ‘alaa Muhammad...

Begitu indah akhlaq Nabi Saw. dan akhlaq seorang mukmin. Dan begitu indah ibadah berhusnudzdzann, gak capek tapi dapat pahala daripada hatinya gak saliim “Yauma laa yanfa'u maalun walaa banuun illaa man atalloha biqolbin saliim.”

Hati yang saliim atau selamat di sini bukannya hati yang selamat dari kangker kronis atau apa segala macam, itu mah mati kemudian sembuh hehehe. Nah kalau penyakit hati ini, di dunianya capek di akhirat apalagi. Semisal riya’ dan sum'ah, capeeeeeek kan? capek badan ini kalau ada ustadz sholatnya lama sampai sepuluh menit hehehe. Iri, dengki, capeeek gak? capeeek kan?

Jadi marilah bersihkan hati kita dari iri, dengki, hasud dll. itu penyakit dari hidup bahayanya sampai mati.


Ditulis ulang oleh: Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 9 Rabi’ul Awwal 1434 H

Janganlah Urusan Dunia Kita Mengalahkan Urusan Akhirat Kita



Kalam Hikmah Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz

Janganlah Urusan Dunia Kita Mengalahkan Urusan Akhirat Kita



Carilah dunia sebanyak mungkin, namun janganlah urusan duniamu mengalahkan urusan akhiratmu. Selalulah bersyukur kepada segala pemberian Allah, baik yang besar maupun yang kecil.

Contoh yang telah diajarkan Rasulullah Saw. seperti menjilati tangan sehabis makan adalah merupakan salah satu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah Swt.

Tidak menyisakan nasi dalam piring hidangan kita juga merupakan bentuk rasa syukur kita, mengambil sebutir nasi yang terjatuh dari piring kita untuk dimakan adalah juga suatu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah Swt.

Kita harus bersyukur walau hanya dapat makan dengan nasi putih saja. Karena Allah Swt. telah berfirman: “Barangsiapa bersyukur atas nikmatKu, maka Aku akan tambahkan nikmat kepadanya.”

Wahai para hadirin, kata “Aku” disini adalah Allah, jadi Allah sendiri yang akan menambahkan dan memberi tambahan nikmat Nya atas orang yang mau bersyukur tersebut. Sungguh agung dan suci anugerah Nya.

Dikatakan bahwa “Barangsiapa yang taat dan patuh kepada Allah, maka Allah memerintahkan dunia untuk tunduk dan mendatanginya serta melayani hambaNya itu.”

(Cuplikan Taushiyah Al-Habib Umar bin Hafidz di Kediaman Al-Habib Umar bin Muhammad Mulachela, Jakarta Selatan, pada bulan Februari tahun 2006 M yang silam)

Selasa, 25 Desember 2012

FATWA NATAL, UJUNG DAN PANGKAL



FATWA NATAL, UJUNG DAN PANGKAL
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid



KASUS “Fatwa Natal” dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar “mencabut peredaran” fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain.

Ini sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah. 

Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI? 

Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin. 

Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin. 

Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai “tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan “perwakilan” di dalamnya?  

Main Mutlak-mutlakan Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena). 

Bagaimana halnya dengan ujung persoalan “Fatwa Natal”? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya. 

Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian! 

Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan kita. 

Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula. 

Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah “kajian” (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan? 

Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja. Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus “Fatwa Natal”, yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri? 


Kolom TEMPO, 30 Mei 1981