Rabu, 10 Oktober 2012

HADHRATUS SYEKH KH. HASYIM ASY’ARI



HADHRATUS SYEKH KH. HASYIM ASY’ARI


Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim yang dijuluki (Pengeran Benowo) bin Abdurrahman yang dijuluki Jaka Tingkir (Sultan Hadi Wijoyo) bin Abdullah bin Abdullah Aziz bin Abdullah Fatah bin Maulana Ishaq, ayah Raden Ainul Yaqin yang masyhur dengan nama Sunan Giri.1
Beliau lahir di desa Nggedang, Jombang Jawa Timur, pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H., bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M., dan wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M. pukul 03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan 1366 H. dalam usia 79 tahun.2

JEJAK PENDIDIKAN SANG KYAI
Jejak pendidikannya dimulai dari mempelajari Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama di bawah asuhan orang tuanya sendiri. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya di berbagai pondok pesantren di daerah Jawa, seperti Pondok Pesantren Shono dan Pondok Siwalan di Sidoarjo dan Pondok Langitan Tuban, setelah itu pindah ke Pondok Bangkalan Madura yang pada saat itu diasuh oleh shohibul karomah Syekh Kholil yang terkenal dengan kewaliannya. Selama mondok di pesantren Sidoarjo, Kyai Ya’kub yang memimpin pondok pesantren tersebut melihat kesungguhan dan kebaikan budi pekerti Syekh Hasyim Asy’ari, hingga ia kemudian menjodohkan dengan putrinya, Khadijah3 pada tahun 1892, tepatnya ketika Hasyim Asy’ari berusia 21 tahun ia menikah dengan Khadijah putri KH. Ya’kub.
Setelah melangsungkan pernikahan itu, KH. Hasyim Asy’ari bersama istrinya, Khadijah segera melakukan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembalinya dari Makkah, KH. Ya’kub selaku mertuanya menganjurkan kepada Hasyim Asy’ari agar menuntut ilmu di Makkah. Hal ini terjadi karena di dorong oleh keadaan pada waktu itu yang melihat ketinggian reputasi keilmuan seorang dari pengalamannya menimba ilmu di Makkah selama bertahun-tahun.
Setelah merasa cukup persiapan mental dan lainnya, KH. Ya’kub bersama KH. Hasyim Asy’ari dan istrinya berangkat ke Makkah untuk mukim dalam rangka menuntut ilmu agama Islam. Namun ketika baru saja tujuh bulan berada di Makkah, istrinya melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah. Akan tetapi beberapa hari setelah melahir-kan, istrinya Khadijah meninggal dunia. Akhirnya pada tahun berikutnya Abdullah juga meninggal dunia. Akhirnya pada tahun berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia bersama mertuanya. Dan setelah itu, Hasyim Asy’ari kembali ke Makkah bersama adik kandungnya bernama Anis pada tahun 1309 H./1893 M.
Memperdalam ilmu agama di kota Makkah adalah merupakan sebuah dambaan yang diidam-idamkan oleh kalangan santri pada saat itu, terutama dari kalangan santri yang berasal dari Jawa, Madura, Sumatra dan Kalimantan.
Dalam perjalanannya menuntut ilmu di Makkah itu, Hasyim Asy’ari berjumpa dengan beberapa tokoh yang selanjutnya dijadikan sebagai gurunya dalam berbagai disiplin ilmu agama Islam. Diantara guru Hasyim Asy’ari di Makkah adalah Syekh Mahfudz At-Turmusi, Putra Kyai Abdullah yang memimpin pesantren Termas. Di kalangan para kyai di Jawa, Syekh Mahfudz lebih dikenal sebagai seorang ahli hadits Bukhari. Dari gurunya ini, Hasyim Asy’ari mendapatkan ijazah untuk mengajar kitab Shahih Bukhari.
Guru Hasyim Asy’ari selanjutnya adalah Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau yang wafat pada tahun 1334 H. Syekh Ahmad Khatib ini adalah menantu Syekh Shalih Kurdi, seorang hartawan yang memiliki hubungan baik dengan para penguasa Makkah. Ia menjadi ulama dan guru besar yang cukup terkenal di Makkah, serta menjadi seorang imam Masjidil Haram untuk para penganut mazhab Syafi’i.
Selain itu Hasyim Asy’ari juga berguru kepada sejumlah tokoh di Makkah, seperti Syekh Al-Allamah Abdul Hamid Al-Darustani dan Syekh Muhammad Syu’aib Al-Magribi, Syekh Ahmad Amin Al-Atthar, Sayyid Sulthan Ibn Hasyim, Sayyid Ahmad Ibn Hasan, Syekh Sayyid Yamani. Sayyid Alawi Ibn Ahmad Al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah Al-Zawawi, Syekh Saleh Bafadhal dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.4
Melalui berbagai ulama dan tokoh-tokoh yang menjadi gurunya di Makkah itu, Hasyim Asy’ari banyak menimba ilmu agama Islam. Ilmu-ilmu agama yang ia pelajari itu, antara lain fiqh dengan konsentrasi pada mazhab Syafi’i, ulum al-hadits, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ilmu alat yaitu nahwu, sharaf, mantiq, balaghah dan lain-lain. Dari sekian banyak ilmu agama yang dipelajarinya itu, Hasyim Asy’ari lebih banyak memusatkan perhatian dan keahliannya pada hadits, terutama kumpulan hadits Imam Muslim.
Setelah lebih kurang tujuh tahun bermukim di Makkah dan memiliki banyak ilmu agama Islam, Hasyim Asy’ari memutuskan untuk kembali pulang ke kampung halamnnya. Pada tahun 1900 M., bertepatan dengan tahun 1314 H. Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air. Di kampungnya ini, KH. Hasyim Asy’ari membuka pengajian keagamaan secara terbuka untuk umum. Dan dalam waktu yang relatif singkat, pengajian KH. Hasyim Asy’ari tersebut terkenal, ter-utama di tanah Jawa. Keberhasilannya ini antara lain di dukung oleh kepribadian yang luhur serta sikap pantang menyerah, di samping memiliki kekuatan spiritual yang dikenal dengan nama karamah.5
Selanjutnya setelah beberapa bulan kembali ke Jawa, pada tahun 1899, Hasyim Asy’ari mengajar di Pesantren Nggedang, sebuah pesantren yang didirikan oleh kakeknya, KH. Utsman. Setelah mengajar di pesantren ini, ia membawa 28 orang santri. Dalam tradisi, bagi seorang santri yang telah menamatkan pelajarnya, ia dipersilahkan membawa beberapa orang santri pindah ke tempat lain untuk mendirikan pesantren yang baru, dengan izin kyainya, izin kyai ini dapat dianggap sebagai restunya kepada kyai muda.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Hasyim Asy’ari kemudian berpindah ke tempat baru dengan memilih daerah yang penuh dengan tantangan yang dikenal dengan daerah hitam. Daerah tersebut tepatnya di Tebuireng, yang berarti pohon tebu berwarna hitam. Di pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari banyak melakukan aktifitas tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, melainkan juga sebagai pemimpin masyarakat secara informal.
Sebagai pemimpin pesantren, KH. Hasyim Asy’ari melakukan pengembangan institusi pesantren-nya, termasuk mengadakan pembaruan sistem dan kurikulum pesantren. Sedangkan perannya sebagai pemimpin informal, KH. Hasyim Asy’ari menunjuk-kan kepeduliannya terhadap kebutuhan masyarakat melalui bantuan pengobatan kepada masyarakat yang membutuhkannya, termasuk juga kepada keturunan Belanda.6

MENDIRIKAN ORGANISASI TERBESAR DI INDONESIA
Hasyim Asy’ari melihat bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-citanya termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa organi-sasi. untuk tujuan tersebut, maka Hasyim Asy’ari bersama ulama besar lainnya di Jawa, yaitu Syekh Abdul Wahhab Hasbullah dan Syekh Bisri Syamsuri mendirikan Nahdlatul Ulama, yaitu pada tanggal 16 Rajab 1344 H., sejak awal berdirinya Kyai Hasyim dipercaya memimpin organisasi itu sebagai Rais Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.7 Ia juga banyak menyumbang-kan pemikiran, gagasasn dan ide-idenya yang tertuang dalam karya tulis yang dihasilkannya. Diantara karya-karya ini adalah:8
1.    Adabul ‘Alim wal Muta’alim.
2.    Risalatul Jami’ah
3.    Ziyadatut Ta’liqat
4.    Tanbihat Al-Wajibat
5.    Hasyiyah ‘Ala Fathur Rohman
6.    Durarul Munqatsiroh
7.    At-Tibyan
8.    Risalah At-Tauhidiyyah
9.    Al-Qala’id
Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin.


1 Syeikh M. Hasyim Asy’ari, Adabul Alim wAl-Muta’lim, (Jombang: Maktabah Al-Turats Al-Islamy, 1415 H), Cet. Ke I, Hal. 3.
2 Ibid, Lihat Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan KH. Hasyim Asy’ari dalam Kebangkitan Islam di Indonesia,” Skripsi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1983), Hal. 7.
3 Salah satu tradisi yang berkembang di dunia pesantren adalah mendjodohkan soerang santri yang cerdas, pintar, tulus dan potensiAl-dengan putri pengasuh pondok pesantren tersebut, Lihat Ridjaluddin FAdjar Nugraha, Op. Cit, hlm. 16-17.
4 Abu Bakar Aceh, Op. Cit, hlm. 35.
5 Pernyataan bahwa KH. Hasyim Asy’ari memiliki kekuatan supranaturAl-ini dikuatkan oleh pendapat James Fox, seorang antropolog dari Australian NasionAl-University (ANU) yang menganggap KH. Hasyim Asy’ari sebagai seorang wali.
6 Suatu hari anak seorang kepala pabrik gula keturunan Belanda menderita sakit parah yang tidak dapat diobati oleh banyak dokter. Ia baru dapat diupayakan kesembuhannya setelah meminum air yang telah diberkahi oleh KH. Hasyim Asy’ari
7 Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terjemahan S. Farid Wajdi (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm. 42.
8 KH. M. Hasyim Asy’ari, op. cit. hlm. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar