HADHRATUS SYEKH KH. HASYIM ASY’ARI
Nama
lengkapnya adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim
yang dijuluki (Pengeran Benowo) bin Abdurrahman yang dijuluki Jaka Tingkir
(Sultan Hadi Wijoyo) bin Abdullah bin Abdullah Aziz bin Abdullah Fatah bin
Maulana Ishaq, ayah Raden Ainul Yaqin yang masyhur dengan nama Sunan Giri.1
Beliau
lahir di desa Nggedang, Jombang Jawa Timur, pada hari Selasa Kliwon, 24
Dzulqaidah 1287 H., bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M., dan wafat
pada tanggal 25 Juli 1947 M. pukul 03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 7
Ramadhan 1366 H. dalam usia 79 tahun.2
JEJAK
PENDIDIKAN SANG KYAI
Jejak
pendidikannya dimulai dari mempelajari Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama di
bawah asuhan orang tuanya sendiri. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya
di berbagai pondok pesantren di daerah Jawa, seperti Pondok Pesantren Shono dan
Pondok Siwalan di Sidoarjo dan Pondok Langitan Tuban, setelah itu pindah ke
Pondok Bangkalan Madura yang pada saat itu diasuh oleh shohibul karomah Syekh
Kholil yang terkenal dengan kewaliannya. Selama mondok di pesantren Sidoarjo,
Kyai Ya’kub yang memimpin pondok pesantren tersebut melihat kesungguhan dan
kebaikan budi pekerti Syekh Hasyim Asy’ari, hingga ia kemudian menjodohkan
dengan putrinya, Khadijah3 pada tahun
1892, tepatnya ketika Hasyim Asy’ari berusia 21 tahun ia menikah dengan
Khadijah putri KH. Ya’kub.
Setelah
melangsungkan pernikahan itu, KH. Hasyim Asy’ari bersama istrinya, Khadijah
segera melakukan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembalinya dari Makkah, KH.
Ya’kub selaku mertuanya menganjurkan kepada Hasyim Asy’ari agar menuntut ilmu
di Makkah. Hal ini terjadi karena di dorong oleh keadaan pada waktu itu yang
melihat ketinggian reputasi keilmuan seorang dari pengalamannya menimba ilmu di
Makkah selama bertahun-tahun.
Setelah merasa cukup persiapan mental
dan lainnya, KH. Ya’kub bersama KH. Hasyim Asy’ari dan istrinya berangkat ke
Makkah untuk mukim dalam rangka menuntut ilmu agama Islam. Namun ketika baru
saja tujuh bulan berada di Makkah, istrinya melahirkan seorang putra yang
diberi nama Abdullah. Akan tetapi beberapa hari setelah melahir-kan, istrinya
Khadijah meninggal dunia. Akhirnya pada tahun berikutnya Abdullah juga
meninggal dunia. Akhirnya pada tahun berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke
Indonesia bersama mertuanya. Dan setelah itu, Hasyim Asy’ari kembali ke Makkah
bersama adik kandungnya bernama Anis pada tahun 1309 H./1893 M.
Memperdalam ilmu agama di kota Makkah
adalah merupakan sebuah dambaan yang diidam-idamkan oleh kalangan santri pada
saat itu, terutama dari kalangan santri yang berasal dari Jawa, Madura, Sumatra
dan Kalimantan.
Dalam perjalanannya menuntut ilmu di
Makkah itu, Hasyim Asy’ari berjumpa dengan beberapa tokoh yang selanjutnya
dijadikan sebagai gurunya dalam berbagai disiplin ilmu agama Islam. Diantara
guru Hasyim Asy’ari di Makkah adalah Syekh Mahfudz At-Turmusi, Putra Kyai
Abdullah yang memimpin pesantren Termas. Di kalangan para kyai di Jawa, Syekh
Mahfudz lebih dikenal sebagai seorang ahli hadits Bukhari. Dari gurunya ini, Hasyim
Asy’ari mendapatkan ijazah untuk mengajar kitab Shahih Bukhari.
Guru Hasyim Asy’ari selanjutnya adalah
Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau yang wafat pada tahun 1334 H. Syekh Ahmad
Khatib ini adalah menantu Syekh Shalih Kurdi, seorang hartawan yang memiliki
hubungan baik dengan para penguasa Makkah. Ia menjadi ulama dan guru besar yang
cukup terkenal di Makkah, serta menjadi seorang imam Masjidil Haram untuk para
penganut mazhab Syafi’i.
Selain itu Hasyim Asy’ari juga berguru
kepada sejumlah tokoh di Makkah, seperti Syekh Al-Allamah Abdul Hamid
Al-Darustani dan Syekh Muhammad Syu’aib Al-Magribi, Syekh Ahmad Amin Al-Atthar,
Sayyid Sulthan Ibn Hasyim, Sayyid Ahmad Ibn Hasan, Syekh Sayyid Yamani. Sayyid
Alawi Ibn Ahmad Al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah Al-Zawawi,
Syekh Saleh Bafadhal dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.4
Melalui berbagai ulama dan tokoh-tokoh
yang menjadi gurunya di Makkah itu, Hasyim Asy’ari banyak menimba ilmu agama
Islam. Ilmu-ilmu agama yang ia pelajari itu, antara lain fiqh dengan
konsentrasi pada mazhab Syafi’i, ulum al-hadits, tauhid, tafsir, tasawuf, dan
ilmu alat yaitu nahwu, sharaf, mantiq, balaghah dan lain-lain. Dari
sekian banyak ilmu agama yang dipelajarinya itu, Hasyim Asy’ari lebih banyak
memusatkan perhatian dan keahliannya pada hadits, terutama kumpulan hadits Imam
Muslim.
Setelah lebih kurang tujuh tahun
bermukim di Makkah dan memiliki banyak ilmu agama Islam, Hasyim Asy’ari
memutuskan untuk kembali pulang ke kampung halamnnya. Pada tahun 1900 M.,
bertepatan dengan tahun 1314 H. Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air. Di
kampungnya ini, KH. Hasyim Asy’ari membuka pengajian keagamaan secara terbuka
untuk umum. Dan dalam waktu yang relatif singkat, pengajian KH. Hasyim Asy’ari
tersebut terkenal, ter-utama di tanah Jawa. Keberhasilannya ini antara lain di
dukung oleh kepribadian yang luhur serta sikap pantang menyerah, di samping
memiliki kekuatan spiritual yang dikenal dengan nama karamah.5
Selanjutnya setelah beberapa bulan
kembali ke Jawa, pada tahun 1899, Hasyim Asy’ari mengajar di Pesantren
Nggedang, sebuah pesantren yang didirikan oleh kakeknya, KH. Utsman. Setelah
mengajar di pesantren ini, ia membawa 28 orang santri. Dalam tradisi, bagi
seorang santri yang telah menamatkan pelajarnya, ia dipersilahkan membawa beberapa
orang santri pindah ke tempat lain untuk mendirikan pesantren yang baru, dengan
izin kyainya, izin kyai ini dapat dianggap sebagai restunya kepada kyai muda.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas,
Hasyim Asy’ari kemudian berpindah ke tempat baru dengan memilih daerah yang
penuh dengan tantangan yang dikenal dengan daerah hitam. Daerah tersebut
tepatnya di Tebuireng, yang berarti pohon tebu berwarna hitam. Di pesantren
inilah KH. Hasyim Asy’ari banyak melakukan aktifitas tidak hanya berperan
sebagai pimpinan pesantren secara formal, melainkan juga sebagai pemimpin
masyarakat secara informal.
Sebagai pemimpin pesantren, KH. Hasyim
Asy’ari melakukan pengembangan institusi pesantren-nya, termasuk mengadakan
pembaruan sistem dan kurikulum pesantren. Sedangkan perannya sebagai pemimpin
informal, KH. Hasyim Asy’ari menunjuk-kan kepeduliannya terhadap kebutuhan
masyarakat melalui bantuan pengobatan kepada masyarakat yang membutuhkannya,
termasuk juga kepada keturunan Belanda.6
MENDIRIKAN ORGANISASI TERBESAR DI
INDONESIA
Hasyim Asy’ari melihat bahwa untuk
berjuang mewujudkan cita-citanya termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan
adanya wadah berupa organi-sasi. untuk tujuan tersebut, maka Hasyim Asy’ari
bersama ulama besar lainnya di Jawa, yaitu Syekh Abdul Wahhab Hasbullah dan
Syekh Bisri Syamsuri mendirikan Nahdlatul Ulama, yaitu pada tanggal 16 Rajab
1344 H., sejak awal berdirinya Kyai Hasyim dipercaya memimpin organisasi itu
sebagai Rais Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.7
Ia juga banyak menyumbang-kan pemikiran, gagasasn dan ide-idenya yang tertuang
dalam karya tulis yang dihasilkannya. Diantara karya-karya ini adalah:8
1.
Adabul ‘Alim
wal Muta’alim.
2.
Risalatul
Jami’ah
3.
Ziyadatut
Ta’liqat
4.
Tanbihat
Al-Wajibat
5.
Hasyiyah ‘Ala
Fathur Rohman
6.
Durarul
Munqatsiroh
7.
At-Tibyan
8.
Risalah
At-Tauhidiyyah
9.
Al-Qala’id
Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin.
1 Syeikh M. Hasyim Asy’ari, Adabul Alim wAl-Muta’lim, (Jombang: Maktabah
Al-Turats Al-Islamy, 1415 H), Cet. Ke I, Hal. 3.
2 Ibid, Lihat Ridjaluddin Fadjar Nugraha,
“Peranan KH. Hasyim Asy’ari dalam
Kebangkitan Islam di Indonesia,” Skripsi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1983), Hal. 7.
3 Salah satu tradisi yang berkembang di
dunia pesantren adalah mendjodohkan soerang santri yang cerdas, pintar, tulus
dan potensiAl-dengan putri pengasuh pondok pesantren tersebut, Lihat
Ridjaluddin FAdjar Nugraha, Op. Cit, hlm. 16-17.
4 Abu Bakar Aceh, Op. Cit, hlm.
35.
5 Pernyataan bahwa KH. Hasyim Asy’ari
memiliki kekuatan supranaturAl-ini dikuatkan oleh pendapat James Fox, seorang
antropolog dari Australian NasionAl-University (ANU) yang menganggap KH. Hasyim
Asy’ari sebagai seorang wali.
6 Suatu hari anak seorang kepala pabrik
gula keturunan Belanda menderita sakit parah yang tidak dapat diobati oleh
banyak dokter. Ia baru dapat diupayakan kesembuhannya setelah meminum air yang
telah diberkahi oleh KH. Hasyim Asy’ari
7 Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru, terjemahan S. Farid Wajdi (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm. 42.
8 KH. M. Hasyim Asy’ari, op. cit.
hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar