Tampilkan postingan dengan label ILMU AQA'ID. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ILMU AQA'ID. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 Desember 2012

Al Habib Munzir Almusawa berkata tentang UCAPAN SELAMAT NATAL




Al Habib Munzir Almusawa berkata tentang UCAPAN SELAMAT NATAL:



"Mengenai ucapan natal, hal itu dilarang dan haram hukumnya jika diniatkan untuk memuliakan agama lain, namun jika diniatkan untuk menjalin hubungan baik agar mereka tertarik pada islam atau tidak membenci islam, maka hal itu ada sebagian ulama yg memperbolehkan"

dari forum tanya jawab MR di website, silahkan ketik di kolom pencarian kata NATAL masalah ini sudah dibahas oleh Al Habib Munzir Almusawa ketika Majelis malam Minggu

Selamat Natal Menurut Al-Qur'an



Selamat Natal Menurut Al-Qur'an
Prof.  KH.  Qurais Sihab



Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.

Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'"

"Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi digendongannya.

Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."

Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya?

Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Di sini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan.

Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur." Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang."

Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa '(Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami. Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas.

Nabi saw. sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagiNya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan."

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat,
aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin! Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain,  maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,  Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya.

Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu,  bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.  Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. 

Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.


Kamis, 20 Desember 2012

Syeikh Hazim Abu Ghazaleh Dan Wahhabi



Syeikh Hazim Abu Ghazaleh



BUKTI LOGIKA BUKAN BERSUMBER DARI AL-QUR'AN


Wahhabi:
Al-Qur'an itu sendiri tidak menganjurkan untuk mendatangkan setiap Bukti dengan logika misal tentang perobahan adalah (jisim), Dan bukti terbesar tentang masalah ini adalah karena generasi awal Islam (dan bahkan Nabi (saw) sendiri tidak mengajarkan mengkonsep teologis kompleks dari Al-Qur'an maka bukti tertentu atau teori yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an,  maka itu tidak sama dengan mengatakan itu bersumber dari Al-Qur'an.

Jawaban Syeikh Hazim Abu Ghazaleh:
Jika bukti tersebut valid sesuai dengan Al-Qur'an, dan membuktikan sesuatu yang dinyatakan di dalamnya, maka mengapa tidak bisa dikatakan bersumber dari Al-Qur'an? Waktu yang berbeda dan orang yang berbeda dipengaruhi dengan berbagai jenis bukti, mereka tertantang untuk menjawab kebutuhan yang berbeda setiap zaman. Dorongan untuk memikirkan bukti-bukti keberadaan Allah dan sifatNya itu sangat banyak dalam Al-Qur'an, dan hal itu tidak terbatas pada yang disebutkan kata demi kata dalam kitab suci. Sebuah contoh dari dorongan tersebut ada dalam ayat ini:

أفلا ينظرون إلى ٱلإبل كيف خلقت

Artinya: "Apakah mereka tidak memperhatikan unta,  bagaimana ia diciptakan?"

Mengingat ayat ini, jika Anda menginginkan saya membatasi memikirkan tentang kejadian dan penciptaan unta, maka Anda harus menunjukkan sebuah teks eksplisit yang melarang memikirkan "bagaimana" unta ada. Hal ini karena dorongan untuk berfikir atas penciptaan unta adalah mutlak dalam ayat ini, dan tidak dapat dibatasi tanpa ada bukti dari teks kitab suci.
Apa yang Anda sebut dengan "perubahan", yang terikat dengan sesuatu sebelumnya, itu hanya milik jisim atau tubuh dengan berbagai aktivitasnya, yaitu dengan memiliki ukuran. Al-Qur'an menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Apakah ini tidak termasuk apa yang terjadi pada setiap jisim/tubuh? Pernyataan Anda benar-benar membingungkan.
Contoh dari ayat dari Al-Qur'an yang mendorong berpikir tentang jisim tubuh yakni (hal-hal yang memiliki ukuran) dan arodl (sifat dan tindakan dari hal-hal yang memiliki ukuran) adalah:

إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب

Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan Langit dan Bumi, dan perbedaan malam dan siang ada tanda-tanda bagi mereka yang berfikir [pikiran perseptif]." (Aal Imran, 190)
Langit dan Bumi adalah dua jisim/fisik, karena keduanya memiliki ukuran, dan perubahan siang dan malam adalah "pergantian dan sifatnya" maka jelaslah bahwa mencari bukti keberadaan Allah dan sifat- sifatNya dgn melihat hal yang ada dalam tubuh dan peristiwa yang terjadi padanya itu merupakan sesuatu yang bersumber dari Al-Qur'an.
Intinya, dengan menggunakan bukti-bukti yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan jg peran logika yang selaras dengan kandungannya,  itu akan mengarah pada kesimpulan yang sama sebagai bukti berdasarkan kedua unsur tak terpisahkan, yaitu bahwa Allah tidak sama dengan ciptaan. Hal ini karena semua ciptaan sebagaimana yang kita ketahui, itu adalah sesuatu yang memiliki ukuran (jisim), atau sifat dari jisim (arodl). Jika Anda membuktikan bahwa Allah ada berdasarkan pada keberadaan ciptaannya dengan ciri-ciri tadi, maka Anda secara implisit mengatakan bahwa Allah tidak seperti itu, karena Anda sudah mengatakan bahwa jisim/fisik dan sifatnya itu membutuhkan seorang pencipta.
Sebagai contoh, berdasarkan firman Allah di atas, jika Anda mengatakan bahwa malam dan siang dan yang terlingkup dgn keduanya itu ada dengan tertib bergantian, dan bahwa hal ini menunjukkan bahwa ada yang mengaturnya, maka Anda juga harus berpegang bahwa Allah bukanlah sesuatu yang ada "di waktu"/tercakup waktu. Jika tidak, maka Anda akan berakhir dengan mengatakan bahwa Allah memerlukan seorang pencipta menurut argumen yang Anda fahami sebelumnya.
Apalagi, jika Anda mengatakan bahwa langit dan bumi itu merupakan struktur yang sangat teratur, dan ada seseorang yang mengaturnya, maka Anda juga harus percaya bahwa Allah bukanlah struktur.
Jika tidak, Anda akan berakhir dengan mengatakan bahwa Allah memerlukan seorang pencipta menurut argumen Anda juga.