Tampilkan postingan dengan label DAWUH ABAH LUTHFI BIN YAHYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DAWUH ABAH LUTHFI BIN YAHYA. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Januari 2013

TELADAN BAGI PARA TOKOH



TELADAN BAGI PARA TOKOH



Kekompakan Habib Ahmad bin Alathas dan Habib Hasyim bin Yahya

Dua ulama ‘Arif Billah ini hidup satu masa. Dan bertempat di lokasi yang tidak berjauhan; sama-sama tinggal di Pekalongan. Dikisahkan saking kompaknya, ketika Habib Hasyim hendak melakukan satu kegiatan atau satu rencana Habib Hasyim selalu meminta ijin dan saran dari Habib Ahmad bin Thalib Alathas.

Pun demikian sebaliknya dengan Habib Ahmad bin Thalib. Jika belum meminta restu dari Habib Hasyim, Habib Ahmad tidak akan berani melangkah.

Kalau Habib Hasyim sudah datang ke tempat Maulid, sementara Habib Ahmad bin Thalib belum datang Habib Hasyim menangguhkan acara, sampai datangnya Habib Ahmad bin Thalib. Begitu juga dengan Habib Ahmad bin Thalib, jika beliau datang pertama, sementara Habib Hasyim belum datang, beliau urung memulai. Kekompakkan keduanya terlihat ketika seorang Habib asal Hadhramaut hendak pamitan pada keduanya.

Dikisahkan,  Pada permulaan Abad-20 Habib Muhammad Ali Muhsin datang dari Hadhramaut ke Indonesia, tepatnya kota Pekalongan. Setelah tinggal di Indonesia sang Habib merasa tidak kerasan.

Ketika hendak pamitan, beliau merasa kebingungan. Mana yang pertama kali didatangi, Habib Ahmad Bin Thalib Alathas ataukah Habib Hasyim bin Umar bin Yahya. “Habib Ahmad atau Habib Hasyim”, terus saja sambil jalan berfikir demikian.

Ketika beliau datang kerumah Habib Ahmad. Habib Muhsin belum sempat bicara, Habib Ahmad berseloroh; “Ya Muhsin ilaa Habib Hasyim bn Umar awwalan, hai Muhsin pamitan ke Habib Hasyim dahulu”.

Langsung saja beliau  datang ke Habib Hasyim. Ketika berpamitan ke Habib Hasyim, Habib Hasyim mengatakan; “Kuburanmu di sini, dan di sini kotamu, nanti kamu yang menggantikan kami semua”.

Habib Muhsin datang ke Habib Ahmad, Habib Ahmad berkata; “Apa yang dikatakan Habib Hasyim adalah perkataanku.”

Kemudian hari terbukti, ketika Habib Ahmad wafat Habib Muhsin yang menggantikan Habib Ahmad mengajar di Salafiyah bersama Habib Muhammad Abdurrahman. Ketika Habib Hasyim wafat yang menggantikan menjadi imam  Masjid An-Nur adalah Habib Muhsin.


Kunjungi: http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=108%3Akekompakan-habib-ahmad-bin-thalib-dan-habib-hasyim-bin-umar-teladan-bagi-para-tokoh&catid=38%3Ahikmah&Itemid=53&lang=id

Selasa, 25 Desember 2012

Darul islamiyyah dengan Darul wathoniyyah



Darul islamiyyah dengan   Darul wathoniyyah




Ada dialog menarik dari sahabat ANSOR KAB PEKALONGAN dengan yang mulia Al Habib Lutfi bin yahya 21-12-2012.

Kenapa pada muktamar NU th 1936 ketika ada pembahasan 2 hal penting yakni:

1.      Darul islamiyyah
2.      Darul wathoniyyah

justru para ulama NU lebih memilih yang no 2?

jawab Al Habib Lutfi: Apabila waktu itu ulama NU bersepakat memilih Darul islamiyyah (negara islam), maka akan bergejolak kelompok non muslim yang ada di Indonesia dan luar negeri untuk tidak mau bahu membahu mewujudkan kemerdekaan NKRI dari penjajah asing SEHINGGA NKRI MUSTAHIL BISA MERDEKA.

Inti Peringatan Maulud Nabi SAW



Inti Peringatan Maulud Nabi SAW



Inti dari peringatan maulud itu apa? Intinya itu adalah melahirkan rasa syukur, rasa terima kasih kepada Rasulullah SAW dengan tujuan agar kita cinta Rasul SAW. Kita itu beriman dan islam itu karena kita kenal kanjeng Nabi SAW. 

Kalau diibaratkan begini, jikalau orang tua kita tidak kenal pada kanjeng Nabi SAW, maka orang tua kita tidak akan iman dan islam. Kemudian beliau berdua menikah, karena beliau kenal kanjeng Nabi, maka menikahnya pun sesuai dengan caranya kanjeng Nabi, sehingga ketika beliau melahirkan kita, maka kita pun menjadi anak halal. 

Kita tidak menjadi anak haram, kenapa? Karena orang tua kita kenal kanjeng Nabi. Seandainya orang tua kita tidak kenal kanjeng Nabi, maka yang terjadi adalah kita tidak dipanggil sebagai anak halal. Tidak usah jauh-jauh. Cukup itu saja, yaitu bersyukur karena kita terlahir sebagai anak halal. Oleh karena menyukuri nikmat itu hukumnya wajib, maka mengadakan maulud pun hukumnya menjadi wajib. Sekarang begini, kalau kita punya emas sekwintal, apa itu bisa melunasi jasa-jasa orang tua? 

Tidak akan. Lalu, kalau gunung slamet berubah menjadi gunung emas, apa itu bisa untuk melunasi jasa-jasanya kanjeng Nabi? Tidak akan. Kalau begitu, maka jangan eman-eman, jangan sayang untuk maulud, untuk menghormati kanjeng Nabi. Menyembelih kambing dua saja kok eman-eman. Buat maulud, bikin yang sebesar-besarnya untuk hormat kanjeng Nabi. Jangan kuatir masalah rezeki, karena tidak mungkin Allah tidak memberi, apalagi rezekinya digunakan untuk maulud, untuk menghormati kekasihNya.

Dahulu, maulud terbesar di Jawa itu di tempatnya Habib Hasyim bin Yahya, di masjid An Nur Pekalongan, dan di tempatnya Habib Abdullah bin Muhsin Bogor. Mauludnya diadakan selama seminggu dengan berbagai macam acara. Beliau-beliau itu, kalau mantu, nikahan anaknya, acaranya biasa-biasa saja, tanpa pajangan. 

Tapi kalau maulud, hiasannya sangat indah, sangat megah, karena apa? Untuk menghormati kanjeng Nabi. Belum lagi kambingnya, kambingnya dipilih yang paling bagus seperti kambing untuk aqiqah, bahkan beliau langsung mengontrol sendiri kambing-kambingnya, jangan sampai ada cacat sedikitpun. Untuk apa? Untuk menghormati kanjeng Nabi. Pokoknya, semuanya harus benar-benar sempurna dan indah. Karena apa? Untuk menghormati kanjeng Nabi. Wallahu a’lam


Senin, 24 Desember 2012

MENJADI MUKMIN YANG SESUNGGUHNYA



MENJADI MUKMIN YANG SESUNGGUHNYA



“Katakanlah, jika kamu mencintai Allah...”  (Ali Imrân: 31).

Ketika ayat ini turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw), “Mâtta akuunu mu’minan shâdiqan?” atau “Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?”

Dijawab oleh Baginda Nabi (saw), “Idza ahbabtallâh,” atau “Apabila engkau mencintai Allah.”

Selanjutnya sahabat itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Rasulullah (saw), “Orang itu mencintal Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”

Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi, “Wâyatawaffatuna fil-Iimâni ’ala qadri tawannutihim fii mahabbatii,” atau “Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah.” Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw).

Hadits itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang, tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw). Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw). Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah, keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah.

Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Maka, apabila kita melihat ayat,  “Katakanlah Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”  (Ali Imrân: 31).

Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut? Jawabannya, diantaranya bahwa Allah dan RasulNya jelas tidak bisa dipisah-pisahkan. Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai NabiNya. Dan tentu saja, dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai RasulNya. Di sinilah pengertian tarekat yang sebenarnya, yakni untuk membimbing orang itu mencapai keimanan sempurna.

Keimanan terbentuk secara terbimbing. Di situlah peran para mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, makrifat kita, tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri, sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut. Bagaimana orang yang tidak bertarekat? Saya jelaskan dulu, syaratnya bertarekat itu harus tahu syariat dulu. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh individu sudah dipahami. Diantaranya, hak Allah (Swt): wajib, mustahil, dan jaiz (berwenang). Lalu hak para rasul, apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi mereka.

Setelah kita mengenal Allah dan RasulNya, kita meyakini apa yang disampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu’, dan lainnya

Namun Anda harus bisa membedakan, orang yang menempuh jalan kepada Allah dengàn sendirian, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah bersama-sama, yaitu melalui seorang mursyid. Kalau kita mau menuju Mekkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah al-Mukarramah dan Madinah al Munawwarah, tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena si pemimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun zamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lainnya. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka’bah, namun kalau tidak tahu rukun zamani, dia tidak akan mampu untuk memulal tawaf, karena tidak tahu bagaimana memulainya. Itulah perbedaannya.