AHLUS
SUNNAH WAL JAMA’AH
A. Mukadimah
NU adalah organisasi yang sudah tua, tetapi hingga saat
ini tetap menjadi organisasi besar. Dibanding 30 atau bahkan 40 tahun yang lalu
organisasi yang dipimpin para ulama ini makin besar. Pengikutnya tetap atau
bahkan makin besar. Kenyataan ini agak mengherankan, karena ada beberapa
organisasi kemasyarakatan yang dipimpin intelektual berpendidikan barat,
menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern tetapi tidak berhasil
membesarkan organisasinya. Oleh sebab itu sering kali
mereka malu sendiri dengan besarnya pengikut yang diklaimnya sendiri. Bahkan beberapa organisasi Islam yang pernah
besar pada masa pergerakan saat ini telah mati.
Ini sungguh menakjubkan karena NU selama ini dianggap
organisasi orang kampung, tradisional, dan kurang berpendidikan,
tetapi bisa bertahan bahkan makin berkembang. Ini menunjukkan NU memiliki
kemampuan bertahan sekaligus kemampuan berkembang yang teruji. Kemampuan
tersebut bisa dijaga, ternyata karena NU memiliki tradisi sangat
kuat yang menjadi sendi dan mengakar dalam kehidupan keagamaan dan
kemasyarakatan jama’ahnya serta memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai budaya
masyarakat setempat. Tradisi yang menjadi sendi kehidupan NU itu tercakup dalam Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Seperti diketahui Nahdlatul Ulama sejak awal
berdirinya dengan tegas menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Di
dalam ajaran Islam ala Aswaja ini terkandung seperangkat keyakinan
tentang akidah, fiqh dan tasawuf berdasar mazhab yang telah disepakati.
Aswaja bertujuan untuk menerapkan maqosidus syari’ah yang
dirumuskan dalam kulliyat al-khams yaitu hifdz ad-din, hifdz
an-nafs, hifdz al-mal, hifdz al-’aql, dan hifdz
al-’irdh wa an-nasl.
Nilai-nilai Aswaja itu kemudian dikristalisasikan
dalam Khitthah Nahdlatul Ulama atau Khittah Nahdliyyah. Khittah
Nahdliyah dirumuskan menjadi pedoman dalam berpikir, bersikap dan
bertindak. Cara
berpikir sesuai dengan khittah itu dirumuskan dalam bentuk Fikrah Nahdliyah yaitu
berpikir sesuai pedoman madzhab, yang bersumber al-Quran, al-Hadits,
Ijma’ dan Qiyas. Cara berpikir ini menggabungkan antara metode naqli dan aqli serta waqi’i. Cara Bersikap dirumuskan
dalam ukhuwah yang memiliki
nilai tawasuth, tawazun, i’tidal dan
seterusnya. Sehingga muncul ukhuwah nahdliyah, ukhuwah
Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah. Cara berperilaku/cara bertindak dirumuskan
dalam Mabadi’ Khaira Ummah yang berisi nilai dan langkah
kejujuran, amanah, tepat janji, adil dan istiqomah. Ini yang menjadi dasar
kerangka strategis untuk membentuk masyarakat yang diidamkan.
Salah satu hal yang pertama-tama perlu diketahui,
dipahami oleh kader dan warga NU adalah sejarah, paham dan ajaran Ahlussunnah wal
Jama’ah. Pemahaman tentang sejarah, paham dan ajaran Ahlussunnah wal
Jama’ah sangat penting bagi kader (pengurus) NU dan warga NU.
Karena Aswaja merupakan fundamen NU
dalam membangun gerakan dan berkhidmat kepada umat. Dengan
sendirinya seluruh metode berpikir (manhaj al-fikri) dan
metode pergerakan (manhaj al-haraki) organisasi NU harus merujuk kepada
konsep dan semangat Aswaja.
Pentingnya peningkatan pengetahuan dan pemahaman kader
tentang Aswaja, karena kenyataan menunjukkan banyak kader (pengurus) dan
warga NU, yang belum memahami
dengan benar doktrin Islam tersebut. Sehingga saat
diaktualisasikan dalam praktek kehidupan sehari-hari di kalangan Nahdliyyin sendiri,
keistimewaan (mazaya) ajaran Aswaja ini tidak tampak ke
permukaan. Menjadi wajar kalau kemudian kalau muncul kesan bahwa
Aswaja ini merupakan doktrin yang ketinggalan zaman. Paham ini sebenarnya sangat tepat
dijadikan ideologi umat di zaman modern ini.
B. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dan Eksistensinya dalam Islam
1.
Pengertian Ahlussunnah wal
Jama’ah
- Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah (أهل السنة والجماعة ) secara bahasa terdiri dari tiga kata: pertama perkataan Ahlun (أهل) artinya keluarga, as-Sunnah (السنة) artinya semua ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi, dan al-Jama’ah (الجماعة) artinya kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
- Pengertian secara ishtilah, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil al-Quran dan al-Hadits daripada dalil akal.
- Tegasnya, ASWAJA itu seperti disabdakan Rasulullah Saw. ketika menjawab pertanyaan sahabat tentang ASWAJA, Rasulullah Saw. menjawab: (ما أنا عليه وأصحابه ) “Mereka itu yang bersamaku dan sahabat-sahabatku.”
2.
Tinjauan
Historis Aswaja
- Ahlussunnah wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra.: ”Umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan, dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah dan para shahabatnya.”
- Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebuah aliran yang baru timbul sebagai reaksi munculnya aliran-aliran dalam Islam seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan sebagainya. Ahlussunnah wal Jama’ah sudah ada sebelum aliran-aliran itu muncul. Justru kemunculan aliran-aliran tersebut sebagai pengganggu kemurnian Ahlussunnah wal Jama’ah.
- Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai firqah diwakili oleh tiga kelompok umat, yaitu:
a.
Kelompok
Ahlu al-Atsar, mereka pengikut Imam
Ahmad ibn Hanbal. Mereka pada umumnya pendukung setia pemikiran Ibn Taimiyah
dan ibn al-Qoyyim al-Jauziyah.
b.
Kelompok
al-Asy’ariah, pengikut Abu Hasan al-Asy’ari, yang merupakan mayoritas di
kalangan umat Islam dewasa ini.
c.
Kelompok
al-Maturidiyah, pengikuti Imam Abu Manshur al-Maturidi.
- Dalam Qonun Asasi NU dan keputusan-keputusan resmi, seperti Muktamar dan Konbes, NU telah menetapkan dalam aqidah mengikuti Imam Abu Hasan al-’Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
C. Manhaj dan Fikrah Ahlussunnah wal Jama’ah
a.
Dalam
Musyawarah Nasional di Surabaya tahun 2006, telah ditetapkan bahwa manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah meliputi:
- Dalam bidang Aqidah/Teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
- Dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermazhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu al-Madzahib al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
- Dalam bidang Tasawwuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M).
b.
Fikrah
Ahlussunnah wal Jama’ah
- Bidang Teologi:
a)
Keseimbangan antara
penggunaan dalil naqli dan dalil aqli. Dengan ketentuan dalil aqli ditempatkan di bawah dalil naqli.
b)
Berusaha memurnikan
aqidah dari segala pengaruh paham aqidah dari luar Ahlussunnah
wal Jama’ah.
c)
Tidak tergesa-gesa dalam
menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya terhadap orang yang belum dapat
memurnikan aqidah semurni-murninya.
- Bidang Fiqh/Syari’at:
a)
Pada
prinsipnya, semua dasar syari’ah/fiqh adalah al-Quran dan al-Hadits. Akan
tetapi menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak semua orang dapat memahami atau
sanggup melakukan istinbath hukum langsung dari al-Quran
dan al-Hadits, karena itu umat Islam diperbolehkan mengikuti salah satu dari
madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
b)
Pada
masalah yang sudah jelas (sharih) dan pasti (qath’i) tidak boleh
ada campur tangan pendapat akal.
c)
Pada
masalah dzanniyat (tidak tegas dan
tidak pasti) masih dimungkinkan terjadinya perbendaan pendapat
- Bidang Tasawwuf:
a)
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah menempatkan tasawwuf sebagai alat pendukung dalam rangka mendidik
dan membimbing aspek esoterik (batiniah) manusia untuk mencapai nilai-nilai
ikhsan atau sikap mental spiritual yang senantiasa merasakan kehadiran
Allah dalam seluruh ruang kehidupan. Untuk mencapai tahapan
itu perlu perpaduan antara syari’ah dan tasawwuf. Karena itu, dalam hal
ini NU mengambil jalan tasawwuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali
dan al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi.
b)
Tidak mencegah, bahkan
menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, dengan riyadhah dan mujadalah
menurut kaifiyat yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam.
c)
Mencegah ektrimitas dan
sikap berlebih-lebihan (al-ghuluw) yang dapat menjerumuskan orang pada
penyelewengan aqidah dan syari’ah.
d)
Berpedoman bahwa akhlak
yang luhur selalu berada di antara dua sikap yang menghujung (tatharruf).
D. Karakteristik/Khashaish Ahlussunnah
wal Jama’ah
Dalam Musyawarah Nasional di Surabaya tahun 2006, telah ditetapkan
bahwa Khashaish/karakteristik doktrin
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah:
1)
Fikrah tawassuthiyyah (pola
pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang)
dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai
persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath.
2)
Fikrah tasamuhiyah (pola
pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai
dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
3)
Fikrah Ishlahiyyah (pola
pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan
menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).
4)
Fikrah tathawwuriyah (pola
pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi
dalam merespon berbagai persoalan.
5)
Fikrah manhajiyah (pola
pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka
berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh
Nahdlatul Ulama.
E. Aktualisasi
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Konteks Kekinian
1)
Paham
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah paham yang dinamik dan dapat
dikembangkan dan diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
2)
Dalam
perjalanan sejarah, Ahlussunnah wal Jama’ah telah
mempraktekkan prinsip-prinsip syura’ (musyawarah), ’adalah(keadilan), musawah (egaliter), ’iffah (menahan
diri), hikmah (kebijaksanaan) dan syaja’ah (keberanian).
3)
Prinsip-prinsip
tersebut berdampak pada sikap-sikap positif yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menyikapi berbagai persoalan. Seperti
munculnya sikap tasamuh (toleran), tawazun(seimbang), tawassuth (moderat),
dan ta’awun (tolong-menolong).
4)
Prinsip
dan sikap yang mengacu kepada paham Ahlussunnah
wal Jama’ah itu
juga dapat menjadi bahan untuk senantiasa mentransformasikan paham
tersebut sesuai dengan perkembangan percaturan kehidupan
yang plural, modern dan dinamis, sehingga prinsip-prinsip dan nilai-nilai
tersebut dapat diaktualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar