ASY-SYAIKHU
FII ZAMAANIH
Seorang
Guru Mursyid, dalam peran dan kiprahnya bagi ummat atau masyarakat, salah
satunya adalah bahwa kehadirannya menjadi “jawaban” bagi setiap dan segenap
pertanyaan permasalahan hidup “kekinian” pada zamannya. Bukan pada zaman
sebelumnya ataupun pada zaman setelahnya. Rupanya, melalui Guru Mursyid inilah
cara Allah SWT memberi karunia hidayah kepada siapa pun hamba-Nya, yang
dikehendaki untuk menjadi orang baik dan selamat dunia akhirat.
Sebaik
dan sesempurna bagaimanapun kebijakan seorang Guru Mursyid yang hidup pada
zaman tertentu, belum tentu cocok untuk secara “mentah-mentah” diterapkan pada
zaman setelahnya. Semangat, makna, nilai atau hikmah di sebalik kebijakan
tersebutlah yang bisa dipetik, namun metode beserta tatacara lainnya tidaklah
“applicable”. Karena hal beginilah maka kebijakan Guru Mursyid Penerus atau
Pengganti, tidak mungkin sekedar “copy paste” dari Guru Mursyid sebelumnya.
Guru Mursyid Penerus atau Pengganti niscaya punya “benang merah roso” yang
tersendiri. Hal ini karena zaman sudah beda, ummat yang dihadapi juga beda,
tantangan persoalan yang mesti dipecahkan juga beda, cara atau siasat dalam
memecahkannya serta pendekatannya juga beda.
Salah
satu contoh, Romo Kyai Sepuh, yakni As-Syeikh Muhammad ‘Oestman Al Ishaqi RA,
pada masa ke-Mursyid-annya, sempat menyusun beberapa buah kitab yang isinya
menjelaskan dan menuntun muridiin
bagaimana kewajiban dan tatakrama Al
Akhlaqul Karimah murid kepada Guru Mursyidnya. Salah satu kitab dimaksud
ialah “Khulashoh Al Wafiyah”. Kitab
tersebut kemudian dijadikan wadlifah
istiqomah oleh para Imam Khususi
untuk dibaca di depan para jamaah muridin saat setiap menjelang Dzikir
Khususiyah.
Pada
era (zaman) yang beda, Guru Mursyid Penerus, yakni Syaikh Romo KH Ahmad Asrori
Al Ishaqi RA sempat Dawuh. Dawuh Beliau lebih-kurang isinya sebagai berikut: Saya paling takut jika harus membicarakan
atau menjelaskan tentang apa-apa yang menyangkut kewajiban serta tatakrama atau
adab murid terhadap Guru. Kenapa demikian? Karena dalam hal ini saya berada
pada posisi yang “mendapat bagian”. Bagaimana saya bisa atau mampu menjaga diri
atau mengendalikan nafsu saya untuk tidak terjebak pada sifat basyariyah saya?
Selanjutnya
Beliau RA menjelaskan: Modal utama bagi
pribadi seorang murid di dalam bertarekat itu lebih terletak pada kejujuran
diri dan kesungguhan. Jika seorang murid mampu untuk jujur dan
bersungguh-sungguh, maka untuk menunaikan kewajiban serta memegang tatakrama
atau adab, baik terhadap Guru maupun terhadap lain-lainnya itu akan menjadi hal
yang bersifat otomatis. Ketaqwaan kepada Allah, perasaan “takut” kepada Guru
Mursyidnya, perasaan “gundah gelisah” di saat di hadapan Gurunya, tatakrama dan
seterusnya, itu akan muncul sebagai ekspresi dari dalam nurani diri sendiri.
Tatakrama yang ternampakkan secara dhohir tersebut justru hanya sebagai salah
satu dari “ciri penanda” atau sekaligus sebagai “alat pembeda” antara mana
murid yang jujur diri dan bersungguh-sungguh dan mana murid yang tidak. Oleh
karena itu maka rasanya tidaklah terlalu pas jika tatakrama atau adab murid
dikemas menjadi kewajiban yang secara dogmatis diberlakukan atau diikatkan oleh
Guru kepada murid-muridnya.
Karena
itu pula, barangkali, di saat dimaturi untuk cetak ulang kitab “Khulashoh Al Wafiyah” tersebut, Beliau
RA mengurungkan. Selanjutnya Beliau RA justru memasukkannya menjadi bagian dari
juz-juz terakhir dalam kitab yang disusunnya. Al Muntakhobat, yang lima juz itu. Sebuah kitab dengan khazanah
pembahasan ilmiyah yang lengkap dan tuntas, namun sekaligus tuntunan praktis
bagi para pribadi yang bersungguh-sungguh ingin mencari dan meniti jalan
kebenaran yang hakiki.
Demikianlah
contohnya. Contoh untuk menegaskan pesan bahwa untuk zaman yang beda - oleh
Guru yang beda - maka kebijakan “roso” dan metode juga pasti beda. Tentu,
contoh di atas tidaklah dimaksudkan untuk disalahpahami sebagai “membandingkan”
antara yang satu dengan lainnya. Kita telah sama-sama memahami dan menyadari
bahwa perilaku “membandingkan” dan/atau “menyamakan/menganggap sama” Guru yang
satu dengan lainnya merupakan perilaku haram.
Karenanya,
totalisme dalam ber-Guru menjadi penting terutama bagi pribadi murid yang
sempat mengalami hidup dan menjalani tarekat dalam 2 masa sehingga berguru
kepada 2 orang Guru Mursyid. Sangatlah naïf apabila di antara mereka, misalnya,
kemudian mengatakan : Dulu, biasanya Kyai A itu seperti ini, makanya kita
mestinya begini. Lha sekarang Kyai B malah berubah seperti itu. Mestinya kita
kan tidak begitu. Dan seterusnya.
(Semua yang benar dari Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi –Rodlia-Allaahu Anhu Wa Ardloohu Wa Nafa’anaa
Bi Hii Wa Bi Uluumihii Fid-Daaroiin Aamiiin– dan yang salah dari pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar