SYEIKH MUHAMMAD
ABDUL MALIK BIN ILYAS
Mursyid Sederhana dan Penyayang Santri Miskin
Purwokerto
adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang terletak di selatan Gunung
Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di pulau Jawa. Purwokerto
merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa
Tengah.
Sementara
kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki
ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai
budaya Banyumasan. Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra
seni dan tipologi masyarakatnya.
Bentang alam
wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah
dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan
irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan
wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan
ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah
perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga
masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah
hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.
Keluarga-keluarga
keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari pusat
kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan
tokoh-tokoh ulama hingga saat ini.
Salah satu dari
sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan Banyumas ini
adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah
Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.
Silsilah
dan Pendidikan
Sudah menjadi
tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak
melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin.
Suatu saat ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai
tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir.
Melihat hal ini,
maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan
menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah seorang
bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik
(dari tikar ke tempat tidur). Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto,
pada hari Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya
adalah Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal
sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto.
Beliau merupakan
keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan "Surat Kekancingan"
(semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan
rincian Muhammad Ash'ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali
Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari
sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Nama lengkap KH. Abdul Malik adalah as-Sayyid Abdul Malik
Ba'abud Kharbasyani bin bin Sayyid Muhammad Ilyas Ba’abud bin Raden Mas Haji
Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II
bin Pangeran Diponegoro bin Sayyid Husain Ba’abud (Hamengkubuwono III) bin Alwi
Ba’abud bin Abdullah bin Muhsin bin Umar bin Muhsin bin Abdullah bin Abu Bakar
bin Hasan bin Ahmad bin Abu Bakar Ba’abud Kharbasyani bin Abdurrahman bin
Abdullah bin Ali bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali bin Alwi bin al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain bin
Sayyidah Fathimah az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulillah.
Sejak kecil,
Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua
orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik
diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji
Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.
Selain itu, ia
juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada
di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini
terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama
sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan
untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Ketika menginjak
usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di
sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul
Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik
pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram.
Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh
(lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal
dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal
ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah
sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan
kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul
Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai
Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik
Kedung Paruk.
Dalam hidupnya,
Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu
membaca al-Qur’an
dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap
harinya dan sekali menghatamkan al-Qur’an.
Adapun shalawat yang diamalkan adalah
shalawat Nabi Khidir As atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering
beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat
yang lain, seperti shalawat al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain. Beliau juga dikenal
sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan
sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada
diri beliau.
Sehingga amat wajarlah bila masyarakat
Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping
dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh
Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang
dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid
(Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid
(Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya
(Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.
Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi
ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada para
jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari?
Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.”
Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul Malik dan jamaah
pun terkejut melihatnya. Hal yang sama
juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan,
Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama
rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku
harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”
Pengembaraan Mempelajari ilmu
Agama dan Guru-Guru
Setelah belajar al-Qur’an dengan ayahnya, asy-Syaikh
kemudian mendalami kembali al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan
(Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah
menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu
agama.
Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru,
baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci. Diantara guru-gurunya
adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar
as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya merupakan ulama besar Makkah
dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.
Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh
Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang,
Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang,
wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad
bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas
Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah
diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan
sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi al-Makki
(Mekkah).
Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul
Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i,
diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan
qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak
di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul
Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak
dalam satu waktu. Disamping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, ia juga
seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan
Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama,
jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.
Dalam ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir
dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Syatha’ dan Sayid Muhammad
Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth
Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in).
Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Thoha bin Yahya al-Magribi
(ulama Hadhramaut
yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin
al-Musawwa, asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi.
Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah
alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-Attas, Habib
Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas
(Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Madinah
adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridhwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid
Abbas al-Maliki al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani),
Sayid Ahmad an-Nahrawi al-Makki, Sayid Ali Ridha. Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah
Suci, sekitar tahun 1327 H, asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman
untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia
lanjut).
Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, asy-Syaikh
Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah sang ayah wafat, asy-Syaikh
Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah
wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada
hari ke-100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur asy-Syaikh
berusia tiga puluh tahun.
Sepulang dari Pengembaraan
Mempelajari ilmu Agama
Sepulang dari pengembaraan, asy-Syaikh
tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama
ibundanya, Nyai Zainab.
Perlu diketahui, asy-Syaikh Abdul Malik
sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi
pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar
Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga
wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama
dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana.
Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya,
Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi
Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar.
Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal
yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para
ulama yang telah memperoleh gelar al-‘Allamah.
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap
berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah asy-Syaikh
Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu
Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada asy-Syaikh
Abdul Malik.
Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal,
Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH
Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal al-Qur’an,
mereka kerap sekali belajar ilmu al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli
tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan
urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa
tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman
bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam
satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya.
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan
Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena
aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara
kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi
rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi
seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana
Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang
penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan
terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga
sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban
Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk
memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam
tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal,
sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Kepribadian Syaikh Abdul Malik
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki
dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur'an dan Shalawat.
Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan
sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka amat
wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang
sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali
melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang
miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa
dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di
desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga
sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat
sederhana, disamping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja.
Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya yang miskin.
Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti
Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.
Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan
kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi
murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil
mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahim para pengikut Thariqah
an-Naqsyabandiyah al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap
hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).
Keluarga Syaikh Abdul Malik
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad
Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri
pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan
nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H
Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah
dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada
usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera
pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal dunia
sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik berkata padanya, "Nak, besok kamu menikah di surga saja
ya?"
Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka
Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu
kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah
Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini
tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh Abdul Malik hendak
menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, "Pak
Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan
ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan
akhirat."
Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik
pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj.
Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri.
Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah
yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah
nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.
Murid-murid Syaikh Abdul
Malik
Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik
diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid
Thariqah an-Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu
Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi
bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau,
yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu
karya pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya
yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama
maupun shalihin. Diantara warisan beliau
yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut
thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah
al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”
Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari
Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat
yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti
membaca kitab Dala’ilu
al-Khairat sebanyak seratus
sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa
neraka.
Selain, menularkan ilmunya kepada
santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik
juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus,
seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya
dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi
hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Pesan Syaikh Abdul Malik
Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik
mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada
cucu-cucunya.
Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana
telah dicontohkan Rasululah Saw. Lakukan shalat fardhu pada waktunya
secara berjama'ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi
penerus sedini mungkin.
Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan
pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada
anak-anak. Sebarkan al-Qur'an di manapun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup
dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur'an dan
qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari.
Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah Saw serta tegakkanlah
sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan
sebarluaskan ajarannya.
Syaikh Abdul Malik wafat
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H.
yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum'at),
Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan
masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya
mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya
sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan,
tanpa sehela nafas pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian
dimakamkan pada hari Jum'at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq
wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar